Thursday, May 29, 2014

Tiga Hal Sepele Ini Jadi Penyebab Stroke

Written By hany rahman on Jumat, 14 Juni 2013 | 19.24

Info Kesehatan - Stroke adalah salah satu penyakit mematikan selain kanker dan serangan jantung. Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC), diperkirakan ada 795.000 orang menderita stroke setiap tahunnya. Hampir 130.000 orang meninggal karena stroke pada 2010 lalu. Kemudian CDC menyebut kalau stroke menyerang karena faktor perilaku orang itu sendiri. Dikutip dari dailyfinance.com, CDC menyebutkan ada tiga perilaku seseorang yang dianggap sepele dan menjadi kebiasaan sehari-hari, namun berperan besar membuat mereka terkena stroke.
Merokok
Merokok terbukti menyerang pembuluh darah. Faktor risiko stroke juga menghantui mereka yang bukan perokok melalui asap. Sebuah penelitian yang dipresentasikan di 2011 pada Kongres Stroke Kanada menunjukkan perokok dua kali berisiko mengalami stroke dibandingkan non-perokok. Salah satu cara pencegahannya adalah berhenti merokok.
Konsumsi alkohol
Penggunaan alkohol yang berlebihan menyebabkan potensi meningkatnya tekanan darah dan kolesterol Anda. Sehingga risiko terserang stroke pun kian tinggi.
Malas Olahraga
Tidak ada keajaiban yang dapat mencegah terjadinya stroke bila Anda tidak berolahraga. Orang-orang yang yang secara fisik tidak aktif bergerak, berada pada risiko terserang stroke lebih tinggi. Hal ini akibat tekanan darah tinggi atau kolesterol tinggi. Selain itu, orang yang malas olahraga juga berisiko terkena diabetes tipe 2 dan menjadi kelebihan berat badan atau obesitas. Berolahraga memang bukan solusi mencegah stroke secara keseluruhan, namun setidaknya mengurangi kemungkinan terkena penyakit tersebut.

Serba-Serbi Stroke

Written By Putri Suherman on Selasa, 20 Mei 2014 | 19.32

Apakah stroke itu ?
Penyakit stroke adalah gangguan fungsi otak akibat aliran darah ke otak mengalami gangguan (berkurang). Akibatnya, nutrisi dan oksigen yang dbutuhkan otak tidak terpenuhi dengan baik. Penyebab stroke ada 2 macam, yaitu adanya sumbatan di pembuluh darah (trombus), dan adanya pembuluh darah yang pecah.

Umumnya stroke diderita oleh orang tua, karena proses penuaan menyebabkan pembuluh darah mengeras dan menyempit (arteriosclerosis) dan adanya lemak yang menyumbat pembuluh darah (atherosclerosis). Tapi beberapa kasus terakhir menunjukkan peningkatan kasus stroke yang terjadi pada usia remaja dan usia produktif (15 - 40 tahun). Pada golongan ini, penyebab utama stroke adalah stress, penyalahgunaan narkoba, alkohol, faktor keturunan, dan gaya hidup yang tidak sehat.

Penyebab stroke

Pada kasus stroke usia remaja, faktor genetika (keturunan) merupakan penyebab utama terjadinya stroke. Sering ditemui kasus stroke yang disebabkan oleh pembuluh darah yang rapuh dan mudah pecah, atau kelainan sistem darah seperti penyakit hemofilia dan thalassemia yang diturunkan oleh orang tua penderita. Sedangkan jika ada anggota keluarga yang menderita diabetes (penyakit kencing manis), hipertensi (tekanan darah tinggi), dan penyakit jantung, kemungkinan terkena stroke menjadi lebih besar pada anggota keluarga lainnya.

Penyebab serangan stroke lainnya adalah makanan dengan kadar kolesterol jahat (Low Density Lipoprotein) yang sangat tinggi. Koleserol jahat ini banyak terdapat pada junk food, atau makanan cepat saji. Selain itu, penyebab terjadinya serangan stroke lainnya adalah kebiasaan malas berolah raga dan bergerak, banyak minum alkohol, merokok, penggunaan narkotika dan zat adiktif, waktu istirahat yang sangat kurang, serta stress yang berkepanjangan. Pecahnya pembuluh darah juga sering diakibatkan karena penyakit tekanan darah tinggi (hipertensi).

Gejala terjadinya serangan stroke

Gejala awal stroke umumnya pusing, kepala serasa berputar (seperti penyakit vertigo), kemudian disusul dengan gangguan berbicara dan menggerakkan otot mulut. Gejala lainnya adalah tergangguanya sensor perasa (tidak bisa merasakan apapun , seperti dicubit atau ditusuk jarum) dan tubuh terasa lumpuh sebelah, serta tidak adanya gerakan refleks. Sering juga terjadi buta mendadak atau kaburnya pandangan (karena suplai darah dan oksigen ke mata berkurang drastis), terganggunya sistem rasa di mulut dan otot-otot mulut (sehingga sering dijumpai wajah penderita menjadi mencong), lumpuhnya otot-otot tubuh yang lain, dan terganggunya sistem memory dan emosi. Sering dijumpai penderita tidak dapat menghentikan tangisnya karena lumpuhnya kontrol otak pada sistem emosinya. Hal itu membuat penderita stroke berlaku seperti penderita penyakit kejiwaan, padahal bukan. Hal-hal seperti ini yang perlu dimengerti oleh keluarga penderita.

Proses penyembuhan

Ada 2 proses penyembuhan utama yang harus dijalani penderita. Pertama adalah penyembuhan dengan obat-obatan di rumah sakit. Kontrol yang ketat harus dilakukan untuk menjaga agar kadar kolesterol jahat dapat diturunkan dan tidak bertambah naik. Selain itu, penderita juga dilarang makan makanan yang dapat memicu terjadinya serangan stroke seperti junk food dan garam (dapat memicu hipertensi).

Proses penyembuhan kedua adalah fisiotherapy, yaitu latihan otot-otot untuk mengembalikan fungsi otot dan fungsi komunikasi agar mendekati kondisi semula. Fisiotherapi dilakukan bersama instruktur fisiotherapi, dan pasien harus taat pada latihan yang dilakukan. Jika fisiotherapi ini tidak dijalani dengan sungguh-sungguh, maka dapat terjadi kelumpuhan permanen pada anggota tubuh yang pernah mengalami kelumpuhan.

Kesembuhan pada penderita stroke sangat bervariasi. Ada yang bisa sembuh sempurna (100 %), ada pula yang cuma 50 % saja. Kesembuhan ini tergantung dari parah atau tidaknya serangan stroke, kondisi tubuh penderita, ketaatan penderita dalam menjalani proses penyembuhan, ketekunan dan semangat penderita untuk sembuh, serta dukungan dan pengertian dari seluruh anggota keluarga penderita. Seringkali ditemui bahwa penderita stroke dapat pulih kembali, tetapi menderita depresi hebat karena keluarga mereka tidak mau mengerti dan merasa sangat terganggu dengan penyakit yang dideritanya (seperti sikap tidak menerima keadaan penderita, perlakuan kasar karena harus membersihkan kotoran penderita, menyerahkan penderita kepada suster yang juga memperlakukan penderita dengan kasar, dan sebagainya). Hal ini yang harus dihindarkan jika ada anggota keluarga yang menderita serangan stroke.

ASKEP BELL PALSY

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis fasial akut. Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden terendah ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden Bell’s palsy setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bell’s palsy rata-rata 15-30 kasus per 100.000 populasi. Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih tinggi, dibanding non-diabetes. Bell’s palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena dari pada laki-laki pada kelompok umur yang sama. Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya Bell’s palsy lebih tinggi dari pada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat.
Sedangkan di Indonesia, insiden Bell’s palsy secara pasti sulit ditentukan. Data yang dikumpulkan dari 4 buah Rumah sakit di Indonesia didapatkan frekuensi Bell’s palsy sebesar 19,55 % dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21 – 30 tahun. Lebih sering terjadi pada wanita daripada pria. Tidak didapati perbedaan insiden antara iklim panas maupun dingin, tetapi pada beberapa penderita didapatkan adanya riwayat terpapar udara dingin atau angin berlebihan .
Bell’s palsy atau prosoplegia adalah kelumpuhan fasialis akibat paralisis nervus fasial perifer yang terjadi secara akut dan penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) di luar sistem saraf pusat tanpa disertai adanya penyakit neurologis lainnya.
Paralisis fasial idiopatik atau Bell’s palsy, ditemukan oleh Sir Charles Bell, dokter dari Skotlandia. Bell’s palsy sering terjadi setelah infeksi virus ( misalnya herpes simplex) atau setelah imunisasi, lebih sering terjadi pada wanita hamil dan penderita diabetes serta penderita hipertensi Lokasi cedera nervus fasialis pada Bell’s palsy adalah di bagian perifer nukleus nervus VII. Cedera tersebut terjadi di dekat ganglion genikulatum.
Salah satu gejala Bell’s palsy adalah kelopak mata sulit menutup dan saat penderita berusaha menutup kelopak matanya, matanya terputar ke atas dan matanya tetap kelihatan.Gejala ini disebut juga fenomena Bell. Pada observasi dapat dilihat juga bahwa gerakan kelopak mata yang tidak sehat lebih lambat jika dibandingkan dengan gerakan bola mata yang sehat (lagoftalmos).

B.    TUJUAN PENULISAN
1.    Tujuan umum
Untuk memberi gambaran dan ilmu pengetahuan tentang konsep dasar penyakit bells’ palsy. Dan agar mahasiswa dapat menyusun asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit bell’s palsy.
2.    Tujuan khusus
a.    Mahasiswa mampu memahami anatomi bells palsy.
b.    Mahasiswa mampu memahami definisi bells palsy.
c.    Mahasiswa mampu memahami etiologi bells palsy.
d.    Mahasiswa mampu memahami patofisiologi serta partway bells palsy.
e.    Mahasiswa mampu memahami manifestasi klinis bells palsy.
f.    Mahasiswa mampu memahami pentalaksanan bells palsy
g.    Mahasiswa mampu memahami komplikasi dan prognosis bells palsy.
h.    Mahasiswa mampu memahami pemeriksaan penunjang bells palsy.
i.    Mahasiswa mampu memahami asuhan keperwatan bells palsy yang diambil dari kasus.






C.    METODE PENULISAN
            Adapun metode penulisan pada makalah ini dengan metode deskriptif dan melalui pengumpulan literatur dari berbagai sumber. Dalam penyampaian ini kami menggunakan metode presentasi supaya audient dapat dengan mudah mencerna materi ini.
D.    SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penulisan pada makalah ini yaitu :
Bab I  :    Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, tujuan, metode penulisan dan sistematika Penulisan.
Bab II :    Tinjauan teoritis terdiri dari Konsep Dasar Penyakit Bell’s palsy (Pengertian, anatomi, etiologi, manifestasi klinik, parthway, prognosis penyakit, patofisiologi,  pemeriksaan penunjang, komplikasi dan penatalaksanaan), dan Asuhan Keperawatan Bell’s palsy (Pengkajian, Diagnosa Keperawatan, Rencana Asuhan Keperawatan dan Evaluasi).
BAB III:     Penutup terdiri dari Kesimpulan dan Saran
DAFTAR PUSTAKA









BAB II
TINJAUAN TEORI
KONSEP DASAR PENYAKIT BELL’S PALSY
A.    ANATOMI
Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :
1.    Serabut somato motorik
Serabut somato motorik yang mensarafi otot-otot wajah (kecuali m. levator palpebrae (nervus III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan stapedius di telinga tengah).
2.    Serabut visero-motorik (parasimpatis)
Serabut visero-motorik yang datang dari nukleus salivatorius superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum, rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula submaksilaris serta sublingual dan lakrimalis.
3.    Serabut visero-sensorik
Serabut visero-sensorik yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua pertiga bagian depan lidah.
4.    Serabut somato-sensorik
Serabut somato-sensorik rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba) dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus trigeminus.

Nervus fasialis (Nervus VII) terutama merupakan saraf motorik yang menginervasi otot-otot ekspresi wajah. Di samping itu saraf ini membawa serabut parasimpatis ke kelenjar ludah dan air mata dan ke selaput mukosa rongga mulut dan hidung, dan juga menghantarkan sensasi eksteroseptif dari daerah gendang telinga, sensasi pengecapan dari 2/3 bagian depan lidah, dan sensasi visceral umum dari kelenjar ludah, mukosa hidung dan faring, dan sensasi proprioseptif dari otot yang disarafinya.
Secara anatomis bagian motorik saraf ini terpisah dari bagian yang menghantar sensasi dan serabut parasimpatis, yang terakhir ini sering dinamai saraf intermedius atau pars intermedius Wisberg. Sel sensoriknya terletak di ganglion genikulatum, pada lekukan saraf fasialis di kanal fasialis. Sensasi pengecapan daru 2/3 bagian depan lidah dihantar melalui saraf lingual korda timpani dan kemudian ke ganglion genikulatum. Serabut yang menghantar sensasi ekteroseptif mempunyai badan selnya di ganglion genikulatum dan berakhir pada akar desenden dan inti akar decenden dari saraf trigeminus (Nervus V). hubungan sentralnya identik dengan saraf trigeminus.
Inti motorik nervus VII terletak di pons. Serabutnya mengitari nervus VI, dan keluar di bagian leteral pons. Nervus intermedius keluar di permukaan lateral pons, di antara nervus V dan nervus VIII. Nervus VII bersama nervus intermedius dan nervus VIII memasuki meatus akustikus internus. Di sini nervus fasialis bersatu dengan nervus intermedius dan menjadi satu berkas saraf yang berjalan dalam kanalis fasialis dan kemudian masuk ke dalam os mastoid. Ia keluar dari tulang tengkorak melalui foramen stilomastoid, dan bercabang untuk mersarafi otot- otot wajah.
(Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persyarafan)

B.    DEFINISI
Bell's Palsy (BP) ialah suatu kelumpuhan akut nervus fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya. Sir Charles Bell (1821) adalah orang yang pertama meneliti beberapa penderita dengan wajah asimetrik, sejak itu semua kelumpuhan nervus fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya disebut Bell's pals. Pengamatan klinik, pemeriksaan neurologik, laboratorium dan patologi anatomi menunjukkan bahwa BP bukan penyakit tersendiri tetapi berhubungan erat dengan banyak faktor dan sering merupakan gejala penyakit lain. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada usia dewasa, jarang pada anak di bawah umur 2 tahun. Biasanya didahului oleh infeksi saluran napas bagian atas yang erat hubungannya dengan cuaca dingin.
(Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persyarafan).
Kelumpuhan nervus vasialis (N.Vll) adalah kelumpuhan otot wajah, sehingga wajah pasien tampak tidak simetris  pada waktu berbicara dan berekspresi. Hanya merupakan gejala sehingga  harus dicari penyebab dan derajat kelumpuhannya  untuk mementukan terapi  dan prognosis.
(Kapita Selekta Kedokteran. 2000. Jakarta. Hal 92-93)


Gambar 2.1 saraf-saraf yang berhubungan
C.    ETIOLOGI
Penyebab tersering adalah virus herpes simpleks-tipe 1. Dan penyebab lain bell palsy antara lain:
1.    Infeksi virus lain.
2.    Neoplasma: setelah pengangkatan tumor otak (neuroma akustik) atau tumor lain.
3.    Trauma: fraktur basal tengkorak, luka di telinga tengah, dan menyelam.
4.    Neurologis: sindrom Guillain-Barre.
5.    Metabolik: kehamilan, diabetes melitus, hipertiroidisme, dan hipertensi.
6.    Toksik: alkohol, talidomid, tetanus, dan karbonmonoksida.
(Dewanto, George. 2010. Praktis diagnosa & tatalaksana penyakit saraf. EGC : Jakarta)

D.    PATOFISIOLOGI
Bell’s plasy dipertimbangkan dengan beberapa tipe paralis tekanan. Saraf yang radang dan edema saraf pada titik kerusakan, atau pembuluh nutriennya  tersumbat pada titik yang menghasilkan nekrosis iskemik dalam kanal panjangnya saluran yang paling baik sangat sempit. Ada penyimpangan wajah berupa palisis otot wajah; peningkatan lakrimalis (air mata); sensasi nyeri pada wajah, belakang  telinga, dan pada klien yang mengalami kerusakan bicara, dan kelamahan otot wajah  atau otot wajah pada sisi yang terkena.


























E.    PARTHWAY




M. Temporal

Inflamasi saraf VII

Edema, saraf terjepit

Nutrien dan listrik (abnormal)

Bell palsy











-    Hambatan komunikasi verbal
-    Gangguan citra tubuh
-    Gangguan konsep diri
-    Gangguan menelan





F.    MANIFESTASI KLINIS
1.    Gejala Pada Sisi Wajah Ipsilateral
•    Kelemahan otot wajah ipsilateral
•    Kerutan dahi menghilang ipsilateral
•    Tampak seperti orang letih
•    Tidak mampu atau sulit mengedipkan mata
•    Hidung terasa kaku
•    Sulit berbicara
•    Sulit makan dan minum
•    Sensitif terhadap suara ( hiperakusis )
•    Saliva yang berlebihan atau berkurang
•    Pembengkakan wajah
•    Berkurang atau hilangny rasa kecap
•    Nyeri didalam atau disekitar telinga
•    Air liur sering keluar
2.    Gejala Pada Mata  Ipsilateral
•    Sulit atau tidak mampu menutup mata
•    Air mata berkurang
•    Kelopak mata bawah jatuh
•    Sensitif terhadap cahaya
3.    Residual
•    Mata terlihat lebih kecil
•    Kedipan mata jarang atau tidak sempurna
•    Senyum yang asimetris
•    Spasme hemifasial pascaparalitik
•    Otot hipertonik
•    Sinkenesia
•    Berkeringat saat makan atau saat beraktivitas
•    Otot menjadi lebih flaksid jika lelah
•    Otot menjadi kaku saat letih atau kedinginan
Secara klinis, saraf lain kadang-kadang ikut teriritasi, misalnya, rasa nyeri atau baal pada wajah yang bias disebabkan oleh iritasi N. V. (Dewanto, George. 2009)
G.    DIAGNOSIS
    Pada infeksi, terlihat pendataran dahi dan lipatan nasolabial pada sisi yang terkena. Ketika pasien diminta menaikan alis mata, sisi dahi yang lumpuh terlihat datar . ketika pasien diminta tersenyum, wajah menjadi menyimpang dan terdapat lateralisasi kesisi yang berlawanan dari yang lumpuh. Pasien tidak dapat menutup matanya secara sempurna pada posisi yang lumpuh. Pada saat berusa menutup mata, bola mata seolah bergulir keatas pada sisi yang lumpuh. Hal ini disebut fenomena Bell dan merupakan hal yang normal pada saat menutup mata.
    Pemeriksaan yang teliti pada kepala, telinga, mata, hidung, dan tenggorokan harus dilakukan pada pasien dengan kelumpuhan wajah. Pada telinga luar harus dilihat adanya vesikel, infeksi atau terauma, penurunan sensisbilitas rasa nyeri didaerah auricular posterior. Pasien dengan paralisis otot stapedius mengalami hiverakusis. (Dewanto, George. 2009)

H.    PENATALAKSANAAN MEDIS
1.    Terapi Non-farmakologis
a.    Kornea mata memiliki risiko mengering dan terpapar benda asing. Proteksinya dapat dilakukan dengan peng-gunaan air mata buatan  (artificial tears), pelumas (saat tidur), kaca mata, plester mata, penjahitan kelopak mata atas, atau tarsorafi lateral (penjahitan bagian lateral kelopak mata atas dan bawah).
b.    Masase dari otot yang lemah dapat dikerjakan secara halus dengan mengangkat wajah ke atas dan membuat gerakan melingkar.  Tidak terdapat bukti adanya efektivitas dekompresi melalui pembedahan saraf fasialis, namun tindakan ini kadang dilakukan pada kasus yang berat dalam 14 hari onset.
c.    Rehabilitasi fasial secara komprehensif yang dilakukan dalam empat bulan setelah onset terbukti memperbaiki fungsi pasien dengan paralisis fasialis. Rehabilitasi fasial meliputi edukasi, pelatihan neuro-muskular, masase, meditasi-relaksasi, dan program pelatihan di rumah. Terdapat empat kategori terapi yang dirancang sesuai dengan keparahan penyakit, yaitu kategori inisiasi, fasilitasi, kontrol gerakan, dan relaksasi.
1)    Kategori inisiasi ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah sedang-berat saat istirahat dan tidak dapat memulai gerakan pada sisi yang lumpuh.  Strategi yang digunakan berupa masase superfisial disertai latihan gerak yang dibantu secara aktif sebanyak 10 kali yang dilakukan 1-2 set per hari dan menghindari gerakan wajah berlebih.
2)    kategori fasilitasi ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah ringan-sedang saat istirahat, mampu menginisiasi sedikit gerakan dan tidak terdapat sinkinesis. Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak otot wajah yang lebih agresif dan reedukasi neuromuskular di depan kaca (feedbackvisual) dengan melakukan gerakan ekspresi wajah yang lambat, terkontrol, dan bertahap untuk membentuk gerakan wajah yang simetris. Latihan ini dilakukan sebanyak minimal 20-40 kali dengan 2-4 set per hari.
3)    kategori kontrol gerakan yang ditujukan pada pasien dengan simetri wajah ringan-sedang saat istirahat, masih mampu menginisiasi sedikit gerakan, dan terdapat sinkinesis. Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak dalam otot wajah dengan agresif, reedukasi neuromuskular di depan kaca seperti kategori fasilitasi, namun secara simultan mengontrol gerakan sinkinesis pada bagian wajah lainnya, dan disertai inisiasi.
4)    strategi meditasi-relaksasi. Pada pasien dengan kekencangan seluruh wajah yang parah karena sinkinesis dan hipertonisitas. Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak dalam otot wajah dengan agresif, reedukasi neuromuskular di depan kaca, dan fokus pada strategi meditasi-relaksasi yaitu meditasi dengan gambar vi-sual atau audio difokuskan untuk melepaskan ketegangan pada otot yang sinkinesis. Latihan ini cukup dilakukan 1-2 kali per hari.
2.    Terapi Farmakologis
Inflamasi dan edema saraf fasialis merupakan penyebab paling mungkin dalam patogenesis  Bell’ s palsy.
a.    Steroid, terutama prednisolon yang dimulai dalam 72 jam dari onset, harus dipertimbangkan untuk optimalisasi hasil pengobatan. Penggunaan steroid dapat mengurangi kemungkinan paralisis permanen dari pembengkakan pada saraf di kanalis fasialis yang sempit. Dosis pemberian prednison (maksimal 40-60 mg/hari) dan prednisolon (maksimal 70 mg) adalah 1 mg/kg/hari peroral selama enam hari diikuti empat hari tappering off. Efek toksik dan hal yang perlu diperhatikan pada penggunaan steroid jangka panjang (lebih dari 2 minggu)  berupa retensi cairan, hipertensi, diabetes, ulkus peptikum, osteoporosis, supresi kekebalan tubuh (rentan terhadap infeksi), dan Cushing syndrome.
b.    Dosis pemberian asiklovir untuk usia >2 tahun adalah 80 mg/kg/hari melalui oral dibagi dalam empat kali pemberian selama 10 hari. Sementara untuk dewasa diberikan dengan dosis oral 2 000-4 000 mg/hari yang dibagi dalam lima kali pemberian selama 7-10 hari. Sedangkan dosis pemberian valasiklovir (kadar dalam darah 3-5 kali lebih tinggi) untuk dewasa adalah 1 000-3 000 mg/hari secara oral dibagi 2-3 kali selama lima hari. Efek samping jarang ditemukan pada penggunaan preparat antivirus, namun kadang dapat ditemukan keluhan berupa adalah mual, diare, dan sakit kepala.

(Artikel. Lowis, Handoko & Maula N Gaharu. 2012. Bell’s Palsy, Diagnosis and Management in Primary Care. IDI)
I.    KOMPLIKASI
Sekitar 5% pasien setelah menderita  Bell’ s palsy mengalami sekuele berat yang tidak dapat diterima. Beberapa komplikasi yang sering terjadi akibat Bell’ s palsy, adalah
1.    Regenerasi motor inkomplit yaitu regenerasi suboptimal yang menyebabkan paresis seluruh atau beberapa muskulus fasialis.
2.    Regenerasi sensorik inkomplit yang menyebabkan disgeusia (gangguan pengecapan), ageusia (hilang pengecapan), dan disestesia (gangguan sensasi atau sensasi yang tidak sama dengan stimuli normal).
3.    Reinervasi yang salah dari saraf fasialis. Reinervasi yang salah dari saraf fasialis dapat menye-babkan:
a.    Sinkinesis yaitu gerakan involunter yang mengikuti gerakan volunter, contohnya timbul gerakan elevasi involunter dari sudut mata, kontraksi platysma, atau pengerutan dahi saat memejamkan mata.
b.    Crocodile tear phenomenon,  yang timbul beberapa bulan setelah paresis akibat regenerasi yang salah dari serabut otonom, contohnya air mata pasien keluar pada saat mengkonsumsi makanan.
Clonic facial spasm (hemifacial spasm),  yaitu timbul kedutan secara tiba-tiba (shock like)pada wajah yang dapat terjadi pada satu sisi wajah saja pada stadium awal, kemudian mengenai sisi lainnya (lesi bilateral tidak terjadi bersamaan). (Artikel. Lowis, Handoko & Maula N Gaharu. 2012. Bell’s Palsy, Diagnosis and Management in Primary Care. IDI)


J.    PROGNOSIS   
1.    Perjalanan alamiah  Bell’ s palsy bervariasi dari perbaikan komplit dini sampai cedera saraf substansial dengan sekuele permanen. Sekitar 80-90% pasien dengan  Bell’ s palsy sembuh Total dalam 6 bulan, bahkan pada 50-60% kasus membaik dalam 3 minggu.
2.    Sekitar 10% mengalami asimetri muskulus fasialis persisten, dan 5% mengalami sekuele yang berat, serta 8% kasus dapat rekuren.
Faktor yang dapat mengarah ke prognosis buruk adalah
-    Palsi komplit (risiko sekuele berat), riwayat rekurensi, diabe-tes, adanya nyeri hebat post aurikular, gangguan penge-capan, refleks stapedius, wanita hamil dengan Bell’ s palsy, bukti denervasi mulai setelah 10 hari (penyembuhan lambat), dan kasus dengan penyengatan kontras yang jelas.
Faktor yang dapat mendukung ke prognosis baik adalah
-    Paralisis parsial inkomplit pada fase akut (penyembuhan to-tal), pemberian kortikosteroid dini, penyembuhan awal dan atau perbaikan fungsi pengecapan dalam minggu pertama.
(Artikel. Lowis, Handoko & Maula N Gaharu. 2012. Bell’s Palsy, Diagnosis and Management in Primary Care. IDI)
K.    PEMERIKSAAN PENUNJANG
Bell’ s palsy merupakan diagnosis klinis sehingga pemeriksaan penunjang perlu dilakukan untuk menyingkirkan etiologi sekunder dari paralisis saraf kranialis.
1.    Pemeriksaan radiologis dengan CT-scan atau radiografi polos
Dilakukan untuk menyingkirkan fraktur, metastasis tulang, dan keterlibatan sistem saraf pusat (SSP).
2.    Pemeriksaan MRI
Dilakukan pada pasien yang dicurigai neoplasma di tulang temporal, otak, glandula parotis, atau untuk mengevaluasi sklerosis multipel. Selain itu, MRI dapat memvisualisasi perjalanan dan penyengatan kontras saraf fasialis.
3.    Pemeriksaan neurofisiologi
Bells palsy sudah dikenal sejak tahun 1970- sebagai prediktor kesembuhan, bahkan dahulu sebagai acuan pada penentuan kandidat tindakan dekompresi intrakanikular.
4.    Pemeriksaan elektromiografi (EMG)
Mempunyai nilai prognostik yang lebih baik dibandingkan elektro-neurografi (ENG). Pemeriksaan serial EMG pada penelitian tersebut setelah hari ke-15 mempunyai positive-predictive-value(PPV) 100% dan  negative-predictive-value(NPV) 96%. Spektrum abnormalitas yang didapatkan berupa penurunan amplitudo  Compound Motor Action Potential(CMAP), pemanjangan latensi saraf fasialis.
5.    Pemeriksaan blink reflexdidapatkan
Pemanjangan gelombang R1 ipsilat-eral. Pemeriksaan  blink reflex  ini  sangat bermanfaat karena 96% kasus didapatkan abnormalitas hingga minggu kelima, meski demikian sensitivitas pemeriksaan ini rendah.  Abnor-malitas gelombang R2 hanya ditemukan pada 15,6% kasus.






















BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PENYAKIT BELL’S PALSY
A.    PENGKAJIAN
Pengkajian keperawatan klien dengan Bell’s Palsy  meliputi anamnesis riwayat penyakit,  pemeriksaan fisik,  pemeriksaan diagnostik, dan pengkajian psikososial.
1.    Anamnesis
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta pertolongan  kesehatan adalah berhubungan dengan kelumpuhan otot wajah terjadi pada satu sisi.

2.    Riwayat penyakit saat ini
Faktor riwayat penyakit sangat penting diketahui karena untuk menunjang keluhan utama klien.  Disini harus di Tanya dengan jelas tentang gejala yang timbul seperti kapan mulai serangan, sembuh, atau tambah buruk. Pada pengkajian klien Bell’s palsy biasanya didapatkan keluhan kelumpuhan otot wajah pada satu sisi.
Kelumpuhan fasialis ini melibatkan semua otot wajah seisi.  Bila dahi dikerutkan, lipatan kulit dahi hanya tampak pada sisi yang sehat saja.  Bila klien disuruh memejamkan kedua matanya, maka pada sisi yang tidak sehat, kelopak mata tidak dapat menutup bola mata dan berputarnya bola mata keatas dapat disaksikan.  Fenomena tersebut dikenal sebagai tanda Bell.

3.    Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan adanya hubungan atau menjadi presdisposisi keluhan sekarang  meliputi pernahkan klien mengalami penyakit iskemia vaskuler,  otitis media, tumor intrakranal, trauma kapitis, penyakit virus (herpes simpleks, herves zoster ), penyakit autoimun, atau kombinasi semua factor ini.  Pengkajian pemakaian obat-obatan  yang sering di gunakan klien, pengkajian kemana klien sudah meminta pertolongan dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan merupakan data besar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan tindakan selanjutnya.

4.    Pengkajian psiko-sosio –spiritual
Pengkajian spikologis  klien  Bell’s palsy   meliputi beberapa penilaian  yang memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas  mengenai status emosi, kognitif, dan prilaku klien.  Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga penting  untuk menilai respon emosi tehadap kelumpuhan otot  wajah seisi dan perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari baik dalam keluarga atau masyarakat.  Apakah ada dampak yang timbul pada klien,  yang timbul ketakutan atau kecacatan,  rasa cemas, ketidakmampuan untuk melakukan aktifitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra tubuh). Pengkajian mengenai mekanisme koping yang secara sadar digunakan  klien selama masa stress meliputi kemampuan klien untuk mendiskusikan masalah kesehatan selama ini yang sudah di ketahui  dan perubahan  perilaku akibat stres.
Karena klien harus menjalani perawatan rawat inap  maka apakah keadaan ini member dampak  pada status  ekonomi  klien,  karena biaya perawatan dan pengobatan  memerlukann dana yang tidak sedikit.  Perawat juga memasukan pengkajian terhadap fungsi neurologis dengan dampak ganguan neurologis  yang akan terjadi pada gaya hidup individu.  Perseektif keperawatan dalam mengkaji terdiri dari dua masalah, yaitu keterbatasan  yang diakibatkan oleh defesit neurologi dalam hubungannya dengan peran  social klien  dan rencana pelayanan  yang akan mendukung  adaptasi pada gangguan  neurologis  didalam sistem dukungan individu.

5.    Pemeriksaan fisik
Setelah melakukan anamnesis  yang mengarah  pada keluhan-keluhan klien,  pemeriksaan  fisik sangat berguna untuk  mendukung  data  dari  pengkajian  anamnesis.  Pemeriksaan fisik  sebaiknya  dilakukan per sistem (B1-B6) dengan fokus pemeriksaan fisik   pada  pemeriksaan B3 (Brain) yang  terarah dan dihubungkan dengan  keluhan-keluhan dari klien.  Pada klien Ball’s palsy biasanya di dapatkan tanda-tanda  vital dalam batas normal.
a.    B1(breathing)
Bila tidak ada penyakit lain  yang menyertai pemeriksaan inspeksi  didapatkan klien  tidak batuk,  tidak sesak napas, tidak ada penggunaan otot bantu napas, dan frekuensi  pernapasan dalam batas normal.  Palpasi biasanya traktil premitus  seimbang kanan dan kiri.  perkusi didapatkan resonan  pada seluruh  lapangan paru.  Askultasi tidak terdengar  bunyi napas tambahan.
b.    B2(blood)
Bila tidak ada penyakit lain yang menyertai   pemeriksaan  nadi  dengan frekuensi  dan irama yang normal.  TD  dalam batas normal dan  tidak terdengar bunyi  jantung tambahan.
c.    B3(brain)
Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus dan  lebih lengkap dibandingkan pengkaian  pada sistem lainnya.
1)    Tingkat  Kesadaran
Pada Bell’s palsy biasanya kesadaran klien  compos mentis.
Fungsi Serebri
Status mental : observasi  penampilan klien  dan tingkah lakunya,  nilai gaya  bicara klien,  observasi  ekspresi wajah,  dan  aktivitas motorik yang pada klien  Bell’s palsy  biasanya status mental klien mengenai perubahan.

2)    Pemeriksaan saraf kranial
•    Saraf  I.  Biasanya  pada klien Bell’s palsy tidak ada kelainan  dan fungsi penciuman tidak ada kelainan.
•    Saraf II.  Tes ketajaman  penglihatan pada kondisi normal.
•    Saraf III, IV,  dan VI.  Penurunan gerakan kelopak mata  pada sisi yang sakit (lagoftalmos ).
•    Saraf V.  Kelumpuhan  seluruh otot wajah seisi, lipatan nasolabial  pada sisi kelumpuhan mendatar, adanya gerakan sinkinetik.
•    Saraf VII.  Berkurangnya ketajaman pengecapan, mungkin sekali  adema nervus  fasialis di tingkat faranem stilomastedeus meluas  sampai bagian nervus fasialis,  di mana khorda timpani menggabungkan diri padanya.
•    Saraf  VIII.  Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
•    Saraf IX Dan X.  Paralisis  Otot orofaing, kesukaran  berbicara, mengunya, dan menelan.  Kemampuan  menelan kurang baik,  sehingga  mengganggu pemenuhan  nutrisi via oral.
•    Saraf XI.  Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus  dan trapezius.  Kemampuan mobilisasi leher baik.
•    Saraf XII.  Lidah simestris,  tidak ada deviasi  pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi. Indra pengecapan mengalami  kelumpuhan dan pengecapan  pada 2/3  lidah sisi kelumpuhan kurang tajam.
3)    Sistem Motorik
Bila tidak melibatkan disfungsi neurologis  lain, kekuatan otot normal,  control keseimbangan  dan koordinasi  pada Bell’s palsy tidak ada kelainan.
4)    Pemeriksaan Refleks
Pemeriksaan reflex dalam,  pengetukan pada tendon,  ligamentum  atau periosteum derajat reflex pada respons  normal.
5)    Gerakan Involunter
Tidak  ditemukan adanya tremor, kejang, dan distonia.  Pada beberapa keadaan sering di temukan Tic Fasialis.
6)    Sistem Sensorik
Kemampuan penilaian  sensorik raba,  nyeri, dan suhu  tidak ada kalainan.
d.    B4 (bladder)
Pemeriksaan pada sistem perkemihan  biasanya  didapatkan berkurangnya volume haluaran urine, hal  ini berhubungan dengan  penurunan perfusi  dan  penurunan curah jantung ke ginjal.
e.    B5 (bowel)
Mual sampai muntah  dihubungkan dengan  peningkatan produksi  asam lambung. Pemenuhan  nutrisi  pada klien Bell’s palsy  menurun karena anoreksia  dan  kelemahan  otot –otot mengunyah  serta gangguan proses  menelan   menyebabkan  pemenuhan via oral menjadi berkurang.
f.    B6 (bone )
Penurunan kekuatan otot  dan  penurunan tingkat kesadaran  menurunkan  mobilitas klien  secara umum.  Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari klien lebih banyak dibantu oleh orang lain.





B.    Diagnosis Keperawatan
1.    Gangguan konsep diri (citra diri )  yang berhubungan dengan perubahan bentuk wajah karena kelumpuhan satu sisi pada wajah.
2.    Cemas yang berhubungan dengan prognosis penyakit dan perubahan kesehatan.
3.    Kurangnya pengetahuan kesehatan diri sendiri yang berhubungan dengan informanasi yang tidak adekuat mengenai proses penyakit dan pengobatan.

C.    Rencana intervensi    
Gangguan konsep diri (citra diri) berhubungan dengan perubahan bentuk wajah karena kelumpuhan satu sisi pada wajah.
Data penunjang :
Tanda subjektif : merasa malu karena adanya kelumpuhan otot wajah terjadi pada satu sisi. 
Tanda objektif   : Dahi dikerutkan, lipatan kulit dahi hanya tampak pada sisi yang  sehat saja. 

Tujuan           : Konsep diri klien meningkat
Kriteria hasil : klien mampu menggunakan koping yang positif. 

Intervensi    Rasionalisasi
Kaji dan jelaskan  kepada klien tentang keadaan paralisis wajahnya.     Intervensi awal bias mencegah distress psiklogis pada klien. 

Bantu  klien menggunakan mekanisme koping ysng positif.
    Mekanisme koping yng positif dapat membantu  klien lebih percaya diri,  lebih kooperatif terhadap tindakan yang akan dilakukan  dan mencegah terjadinya kecemasan tambahan.

Orientasikan klien  terhadap prosedur  rutin dan aktifitas yang diharapkan. 
    Orientasi dapat menurunkan kecemasan.
Libatkan sistem pendukung dalam  perawatan klien.     Kehadiran sistem pendukung meningkatkan  citra diri klien. 


Cemas  yang  berhubungan  dengan  proknosis penyakit dan perubahan  kesehatan
Tujuan           : Kecemasan   hilang atau berkurang.
Kriteria hasil :  mengenal perasaannya,  dapat mengidentifikasai penyebab atau faktor yang  mempengaruhi,  dan menyatakan ansietas berkurang  / hilang.

Intervensi    Rasionalisasi
Kaji tanda verbal dan nonverbal  kecemasan, damping klien  dan,  lakukan tindakan bila menunjukan prilaku merusak.     Reaksi  verbal /nonverbal dapat  menunjukan rasa agitasi,  marah, dan gelisah. 
Mulai melakukan tindakan untuk mengurangi kecemasan.  Beri lingkungan yang tenang dan suasana penuh istirahat.      Mengurangi rangsangan eksternal yang tidak perlu.
Tingkat control sensasi klie.     Kontrol sensasi klien (dan dalam menurunkan ketakutan ) dengan   cara memberikan informasi tentang keadaan klien,  menekankan pada  penghargaan terhadap sumber-sumber koping (pertahanan  diri ),  yang positif membantu   latihan relaksasi dan teknik-teknik pengalihan dan memberikan respon balik yang positif. 
Beri kesempatan  kepada klien  untuk mengungkapkan kecemasannya.      Dapat mengalihkan ketegangan  terhadap kekhawatiran  yang tidak diekspresikan.
Berikan privasi untuk klien dan orang terdekat.      Memberi waktu untuk mengekspresikan  perasaan,  menghilangkan cemas,  dan perilaku adaptasi.  Adanya keluarga dan teman-teman  yang di pilih klien melayani  aktivitas  dan pengalihan (misalnya membaca akan  menurunkan perasaan terisolasi.  


Kurangnya pengetahuan  perawatan diri  sendiri yang berhubungan dengan informasi  yang tidak ade kuat mengenai  proses penyakit dan pengobatan.
Tujuan           : Dalam jangka waktu 1x30 menit klien akan memperlihat kan kemampuan   pemahaman yang ade kuat tentang penyakit  dan  pengobatan.
Kriteria hasil : Klien mampu secara subjektif menjelaskan ulang secara sederhana terhadap  apa yang telah didiskusikan.

Intervensi    Rasionalisasi
Kaji kemampuan belajar,  tingkat kecemasan,  partisipasi,  media yang sesuai untuk belajar.      Indikasi progresif atau  reaktivasi  penyakit atau efek samping pengobatan,  serta untuk evaluasi lebih lanjut.
Identifikasi tanda dan gejala  yang perlu dilaporkan keperawat.       Meningkatkan kesadaran kebutuhan  tentang perawatan diri untuk meminimalkan kelemahan.
Jelaskan instruksi dan informasi   misalnya penjadwalan pengobatan.     Meningkatkan kerja sama/ partisipasi terapeutik  dan mencegah putus obat.
Kaji ulang resiko efek samping  pengobatan.     Dapat mengurangi rasa kurang nyaman  dari pengobatan untuk perbaikan kondisi klien.
Dorong klien mengekspresikan ketidaktahuan/ kecemasan dan beri informasi yang dibutuhkan.     Member kesempatan untuk mengoreksi persepsi yang salah  dam mengurangi kecemasan.






BAB IV
KESIMPULAN
A.    KESIMPULAN
Bell’s palsy adalah kelumpuhan akut dari nervus fasialis VII yang dapat menyebabkan gangguan pada indera pengecapan , yaitu pada dua per tiga anterior lidah.Penyakit ini lebih sering ditemukan pada usia dewasa dan jarang pada anak.
Diagnosis dapat ditegakkan secara klinik setelah kausa yang jelas untuk lesi nervus fasialis perifer disingkirkan. Terapi yang dianjurkan saat ini ialah pemberian prednison, fisioterapi dan kalau perlu operasi





















DAFTAR PUSTAKA

o    Artikel. Lowis, Handoko & Maula N Gaharu. 2012. Bell’s Palsy, Diagnosis and Management in Primary Care. IDI
o    Dewanto, George. 2010. Praktis diagnosa & tatalaksana penyakit saraf. EGC : Jakarta
o    Djamil Y, A Basjiruddin. Paralisis Bell. Dalam: Harsono, ed. Kapita selekta neurologi; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.2009. hal 297-300
o    Ginsberg, lionel. 2008. Lecture Notes : Neurologi. Erlangga : Jakarta.
o    Lumbantobing. 2007. Neurologi Klinik. Jakarta: Universitas Indonesia.
o    Weiner HL, Levitt LP. Ataksia. Wita JS, editor. Buku Saku Neurologi. Ed 5. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001. Hal. 174
o    Williams, Lippincot & Wilkins. 2011. Nursing : Memahami Berbagai Macam Penyakit. Indeks: Jakarta
o    Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persyarafan.
o                            Kapita Selekta  Kedokteran. 2000. Jakarta.

ASKEP PERDARAHAN SUBARAKHNOID

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Besarnya Tekanan Intra Kranial (TIK) sangat berhubungan dengan derajat hemoragik secara klinik. TIK sangat bermanfaat dalam menentukan waktu terbaik untuk melakukan pembedahan, memperkirakan dan mendeteksi pardarahan ulang dan menentukan etiologi penurunan fungsi neurologi.  Pemantauan tekanan intrakranial memudahkan penggunaan berbagai obat dan tehnik penatalaksanaan lain seperti hiperventilasi dan drainase cairan ventrikular secara kontinu atau parau permanen untuk mengkompensasi kerusakan reapsorbsi cairan serebrospinal (CSS) (Lionel Ginsberg, Neurologi, Hal 69).
Subarachnoid Hemorrhage (SAH) atau perdarahan subarakhnoid (PSA) menyiratkan adanya darah didalam ruang subarakhnoid akibat beberapa proses patolgis. Penggunaan istilah medis umum SAH merujuk kepada tipe perdarahan non-traumatik, biasanya berasal dari ruptur aneurisme berry atau arteriovenous malformation (AVM)/ Malformasi ArterioVenosa (MAV).
Insiden tahunan PSA anerurisme non-traumatik adalah 6-25 kasus per 100.000. Lebih dari 27.000 orang amerika menderita ruptur aneurisme intrakranial setiap tahunnya.
Insiden tahunan meningkat sesuai dengan usia dan mungkin di anggap remeh karena kematian di hubungkan dengan penyebab lain yang tidak bisa di pastikan dengan autopsi. Beragam insiden PSA telah di laporkan pada daerah lain di dunia (2-49 kasus per 100.000).
Insidennya 62% perdarahan subarakhnoid timbul pertama kali pada 40-60 tahun. Pecahnya pembuluh darah bisa terjadi pada usia berapa saja, tetapi lebih sering pada usia 25-50 tahun. Perdarahan subarakhnoid jarang terjadi setelah suatu cedera kepala. Pada MAV laki-laki lebih banyak daripada wanita.
Epidemiologi :
    Pendarahan Subarakhnoid (PSA)  menduduki 7-5% dari seluruh kasus Gangguan Peredaran Darah Otak (GPDO).
    Usia : insidensya, 62% PSA timbul pertama kali pada 40-60 tahun.
    Kelamin : pada Malformasi ArterioVenosa (MAV), laki-laki lebih banyak dari pada wanita.

B.    TUJUAN PENULISAN
1)    Tujuan Intruksi Umum
Setelah membahas makalah “Perdarahan Subaraknoid”, diharapkan mahasiswa mampu menerapkan pengetahuan yang telah didapat dari makalah ini untuk mengetahui segala hal dari Perdarahan Subaraknoid.
2)    Tujuan Intruksi Khusus
Setelah membahas makalah dari perdarahan subarakhnoid, mahasiswa dapat :
a)    Mengetahui pengertian dari perdarahan subarakhnoid.
b)    Mengetahui etiologi dari perdarahan subarakhnoid.
c)    Mengetahui patofisiologi dari perdarahan subarakhnoid.
d)    Mengetahui tanda dan gejala dari perdarahan subarakhnoid.
e)    Mengetahui komplikasi dari perdarahan subarakhnoid.
f)    Mengetahui pemeriksaan penunjang dari perdarahan subarakhnoid.
g)    Memahami asuhan keperawatan dari perdarahan subarakhnoid.

C.    METODE PENULISAN
Dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan metode deskriptif yang menjelaskan tentang Definisi Perdarahan Subaraknoid,Etiologi, Patofisiolgi, Tanda dan Gejala, Komplikasi, Pemeriksaan Penunjang hingga Asuhan Keperawatan yang sesuai untuk kasus Peredarahan Subaraknoid.

D.    SISTEMATIKA PENULISAN
BAB I :     Pendahuluan terdiri dari Latar Belakang, Tujuan Penulisan, Metode Penulisan, dan Sistematika Penulisan.
BAB II :     Tinjauan Teori terdiri dari Definisi, Etiologi, Patofisiologi, Tanda dan Gejala, Komplikasi, Pemeriksaan Penunjang dan Asuhan Keperawatan pada Kasus.
BAB III :     Penutup terdiri dari Kesimpulan dan Saran


BAB II
TINJAUAN TEORI

A.    DEFINISI
Penyebab utama perdarahan subarakhnoid adalah pecahnya aneurisme intrakranial, kejadian yang sangat penting sehubungan dengan ditemukan angiografi. (Harsono, Neurologi Klinis, Hal; 93)
Pendarahan Subarakhnoid (PSA) adalah keadaan terdapatnya atau masuknya darah kedalam ruangan subarakhnoid. (Dr.Hartono,  Kapita Selekta Neurologi. Hal; 97)
Pendarahan Subaraknoid (PSA) Terjadi akibat kebocoran nontraumatik atau ruptur aneurisma kongenital pada circulus arteriorus cerebralis atau yang lebih jarang akibat arteriovenosa. Gejalanya timbul dengan onset mendadak antara lain adalah nyeri kepala hebat, kaku pada leher, dan kehilangan kesadaran (Richard, Neuroanatomi Klinik, Hal; 24)
Jadi, Perdarahan Subarakhnoid (Subarachnoid Hemorrhage) adalah pecahnya aneurisme intrakranial sehingga dapat menyebakan darah masuk ke dalam ruang subaraknoid. Manifestasi dari PSA berupa nyeri kepala hebat, kaku pada leher dan hilangnya kesadaran pada manusia.
Perdarahan subarakhnoid biasanya berasal dari aneurisme yang pecah atau malformasi vaskuler. Aneurisma (distensi abnormal dari pembuluh lokal) mungkin bawaan (berry aneurisma) atau infeksi (aneurisma mikotik). Salah satu komplikasi perdarahan subarachnoid, kejang arteri, dapat menyebabkan infark. (Neuroanatomy. Hal: 45)

B.    ETIOLOGI
1.    Karena aneurisme pecah (50%).
Aneurisma yang pecah ini berasal dari pembuluh darah sirkulasi Willisi dan cabang-cabangnya yang terdapat di luar parenkim otak (Juwono, 1993).
2.    Pecahnya Malformasi ArterioVenosa (MAV) (5%)
Terjadi kebocoran arteri venosa secara nontraumatik pada sirkulasi arteri serebral.       
3.    Penyebab yang lebih jarang
•    Trauma
•    Kelemahan pembuluh darah akibat infeksi, misalnya emboli septik dari endokarditis infektif (anaeurisma mikotik)
•    Koagulupati
C.    PATOFISIOLOGI
Aneurisme merupakan luka yang disebabkan oleh karena tekanan hemodinamik pada dinding arteri percabangan dan perlekukan. Saccular atau biji aneurisme dispesifikasikan untuk arteri intracranial karena dindingnya kehilangan suatu selaput tipis  bagian luar dan mengandung faktor adventitia  yang membantu pembentukan aneurisme. Suatu bagian tambahan yang tidak didukung dalam ruang subarakhnoid.
Aneurisme kebanyakan dihasilkan dari terminal pembagi dalam arteri karotid bagian dalam dan dari cabang utama bagian anterior pembagi dari lingkaran lingkaran wilis.
D.    PATHWAY











Gambar 2.1. patofisiologi dan masalah keperawatan
( Arif Muttaqin, Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan, Hal 239)
E.    TANDA DAN GEJALA
Tanda-tanda dan gejala klinis :
-    Gejala prodromal : nyeri kepala hebat dan perakut, hanya 10%, 90% tanpa keluhan sakit kepala.
-    Kesadaran sering terganggu, dan sangat bervariasi dari tak sadar sebentar, sedikit delir sampai koma.
-    Gejala/ tanda rangsangan : kaku kuduk, tanda kernig ada.
-    Fundus okuli: 10% penderita mengalami edema-papil beberapa jam setelah perdarahan. Sering terdapat perdarahan . Sering terdapat perdarahan subhialoid karena pecahnya aneurisma pada a. Komunikans anterior, atau a.karotis interna.
-    Gejala-gejala neurologik fokal : bergantung pada lokasi lesi.
-    Gangguan fungsi saraf otonom : demam setelah 24 jam, demam ringan karena rangsangan mening, dan demam tinggi bila dilihatkan hipotalamus. Begitu pun muntah, berkeringat, menggigil, dan takikardi, ada hubungannya dengan hipotalamus.
Bila berat, maka terjadi ulkus peplitikum disertai hematemesis dan melena(stress ulcer), dan seringkali disertai peninggian kadar gula darah, glukosuria, albuminuria, dan perubahan pada EKG. (Dr.Hartono,  Kapita Selekta Neurologi. Hal; 97).
Terapi dan prognosis bergantung pada status klinis penderita. Dengan demikian diperlukan peringkat klinis, sebagai suatu pegangan, sebagi berikut :
Tingkat I     :    asimtomatik
Tingkat II    :    nyeri kepala hebat tanpa defit neorologik kecuali paralisis nervi kraniales.
Tingkat III    :    somnolen dan defisit ringan
Tingkat IV    :    stupor, hemiparesis atau hemiplegia, dan mungkin ada regiditas awal dan gangguan vegetatif.
Tingkat V    :    koma, regiditas deserebrasi,dan kemudian meninggal dunia.
(Harsono, Buku Ajar Neurologi Klinis, Hal; 94-96)

F.    KOMPLIKASI
Pada beberapa keadaan, gejala awal adalah katastrofik. Pada kasus lain, terutama dengan penundaan diagnosis, pasien mungkin mengalami perjalanan penakit yang dipersulit oleh perdarahan ulang (4%), hidrosefalus, serangan kejang, atau vasospasme. Perdarahan ulang dihubungkan dengan tingkat mortalitas sebesar 70 % dan merupakan komplikasi segera yang paling memperhatinkan. (Michael I. Greenberg, Teks Atlas Kedokteran Kedaruratan, Hal: 45)

G.    PEMERIKSAAN PENUNJANG
(Lionel Ginsberg, Neurologi, Hal; 96-97)
    Pada sebagian besar kasus, CT scan kranial akan menunjukkan darah pada subarakhnoid.
    Perdarahan kecil mungkin tidak tersedia pada CT scan. Diperlukan  fungsi  lumbal untuk konfirmasi diagnosis. Tidak ada kontraindikasi fungsi lumbal selama diyakini tidak ada lesi massa dari pemeriksaan pencitraan dan tidak ada kelainan perdarahan.
    Diagnosis perdarahan subarakhnoid dari fungsil lumbal adalah darah yang terdapat pada ketiga botol dengan kekeruhan yang sama, tidak ada yang lebih jernih. Supernatan cairan serebrospinal terlihat berserabut halus atau berwarna kuning (xantokromia) hingga tiga jam setelah perdarahan setelah karena adanya produk pemecahan hemoglobin.
    Edema paru dan aritmia jantung dapat terlihat dari rontgen dada dan EKG.
    Gangguan perdarahan harus disingkirkan.
    Kadang-kadang terjadi glikosuria.

H.    PENATALAKSANAAN
Pasien dengan SAH memerlukan observasi neurologik ketat dalam ruang perawatan intensif, termasuk kontrol tekanan darah dan tata laksana nyeri, sementara menunggu perbaikan aneurisma defisit. Selain itu, pasien harus menerima profilaksis serangan kejang dan bloker kanal kalsium untuk vasospasme. (Michael I. Greenberg, Teks Atlas Kedokteran Kedaruratan, Hal: 45)
Perdarahan subarahnoid akibat aneurisma memiliki angka mortalitas sangat tinggi 30-40% pasien meninggal pada hari-hari pertama. Terdapat resiko perdarahan ulang yang signifikan ,terutama pada 6 minggu pertama, dan perdarahan kedua dapat lebih berat. Oleh karena itu, tata laksan ditujukan pada resusitasi segera dan pencegahan perdarahan ulang. Tirah baring dan analgesik diberikan pada awal tata laksana. Antagonis kalsium nimodipin dapat menurunkan mor komplikasi dini perdarahan subarahnoid meliputi hidrosepalus sebagai akibat obstruksi aliran cairan serebrospinal oleh bekuan darah. Komplikasi ini juga dapat terjadi pada tahap lanjut (hidrosepalus komunikans). Jika pasien sadar atau hanya terlihat mengantuk, maka pemeriksaan sumber perdarahan dilakukan dengan angiogrrafi serebral. Identifikasi aneurisma memungkinkan dilakukan sedini memungkinkan dilakukannya intervensi jepitan (clipping) leher aneurisma, atau jika mungkin membungkus (wropping)aneurisma tersebut.
Waktu dan saran angiografi serta pembedahan pada pasien dengan perdarahan subarahnoid yang lebih berat dan gangguan kesadaran merupakan penilaian spesialitis, karena pasien ini mempunyai prognosis lebih buruk dan toleransi operasi lebih rendah.
Perdarahan lebih rendah akibat malformasi arteriovenosa memiliki mortalitas lebih rendah dibandingkan aneurisma. Pemeriksaan dilakukan dengan angiografi dan terapi dilakukan dengan pembedahan, radio terapi atau neurologi intervensional. Malformasi arteriovenosa yang terjadi tanpa adanya perdarahan, misalnya epilepsi, biasanya tidak ditangani dengan pembedahan (Lionel Ginsberg, Neurologi, Hal 69).

I.    ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS
1.    PENGKAJIAN
a.    Identitas
Pengumpulan data adalah kegiatan dalam menghimpun informasi dari penderita dan sumber-sumber lain yan meliputi unsur bio psikososio spiritual yang komprehensif dan dilakukan pada saat penderita masuk.
b.    Keluhan utama
Keluhan utama penderita dengan CVA bleeding datang dengan keluhan kesadaran menurun, kelemahan/kelumpuhan pada anggota badan (hemiparese/hemiplegi), nyeri kepala hebat.
a)    Riwayat penyakit sekarang
Adanya nyeri kepala hebat atau akut pada saat aktivitas, kesadaran menurun sampai dengan koma, kelemahan/kelumpuhan anggota badan sebagian  atau keseluruhan, terjadi gangguan penglihatan, panas badan.
b)    Riwayat penyakit dahulu
Penderita punya riwayat hipertensi atau penyakit lain yang pernah diderita oleh penderita seperti DM, tumor otak, infeksi paru, TB paru.


c.    Riwayat penyakit keluarga
Penyakit keturunan yang pernah dialami keluarga seperti DM, penyakit lain seperti hipertensi dengan pembuatan genogram.
d.    Data biologis
a)    Pola nutrisi
Dengan adanya perdarahan di otak dapat berpengaruh atau menyebabkan gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi karena mual muntah sehingga intake nutrisi kurang atau menurun.
b)    Pola eliminasi
Karena adanya CVA bleeding terjadi perdarahan dibagian serebral atau subarochnoid, hal ini dapat berpengaruh terhadap reflex tubuh atau mengalami gangguan dimana salah satunya adalah hilangnya kontrol spingter sehingga terjadi inkonhnentia atau imobilisasi lama dapat menyebabkan terjadinya konstipasi.
c)    Pola istirahan dan tidur
Penderita mengalami nyeri kepala karena adanya tekanan intrakronial yang meningkat sehingga penderita mengalami gangguan pemenuhan tidur dan istirahat.
d)    Pola aktivitas
Adanya perdarahan serebral dapat menyebabkan kekakuan motor neuron yang berakibat kelemahan otot (hemiparese/hemiplegi) sehingga timbul keterbatasan aktivitas.
e.    Pemeriksaan Fisik
a)    Keadaan umum
Keadaan umum penderita dalam kesadaran menurun atau terganggu postur tubuh mengalami ganguan akibat adanya kelemahan pada sisi tubuh sebelah atau keseluruhan lemah adanya gangguan dalam berbicara kebersihan diri kurang serta tanda-tanda vital (hipertensi)
b)    Kesadaran
Biasanya penderita dengan  CVA bleeding terjadi perubahan kesadaran dari ringan sampai berat, paralise, hemiplegi, sehingga penderita mengalami gangguan perawatan diri berupa self toileting, self eating.


f.    Data Spikologis
a)    Konsep diri
Penderita mengalami penurunan konsep diri akibat kecacatannya.
g.    Data sosial
a)    Hubungan sosial
Akibat perdarahan intraserebral terjadi gangguan bicara, penderita mengalami gangguan dalam berkomunikasi dan melaksanakan perannya.
b)    Faktor sosio kultural
Peran penderita terhadap keluarga menurun akibat adanya perasaan rendah diri akibat sakitnya tidak dapat beraktifitas secara normal karena adanya kelemahan dan bagaimana hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa .
h.    Data Spiritual
Penderita mengalami kesulitan dalam menjalankan ibadahnya karena adanya kelumpuhan.
i.    Data penunjang
Penderita mengalami nyeri kepala karena adanya tekanan intrakronial yang meningkat sehingga penderita mengalami gangguan pemenuhan tidur dan istirahat.

2.    DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan adalah sebuah label singkat, menggambarkan kondisi klien yang diobservasi di lapangan.kondisi ini bisa masalah-masalah aktual atau potensial. Dengan menggunakan terminologi NANDA, masalah potensial tersebut dinyatakan sebagai risiko.

3.    INTERVENSI KEPERAWATAN
Klasifikasi Intervensi Keperawatan (The Nursing Interventions Classification, NIC) bahwa membuat intervensi harus punya prioritas yaitu merupakan intervensi yang paling terlihat untuk mempengaruhi keputusan masalah, tetapi hal ini tidak berarti bahwa intervensi tersebut merupakan satu-satunya intervensi yang harus digunakan.


J.    ASUHAN KEPERAWATAN KASUS
Kasus:
Seorang pasien wanita berusia 47 tahun mengeluh nyeri kepala mendadak yang hebat setelah mengalami kecelakaan. Pada pemeriksaan pasien sadar dan tidak demam, tetapi sangat kesakitan disertai kaku kuduk sedang dan fotofobia. Pasien muntah satu kali. Tidak ada tanda-tanda neurologis fokal abnormal. CT-Scan awalnya tampak normal. Pasien dipulangkan dengan diagnosis dugaan migrain (tidak ada nyeri riwayat sebelumnya) dan diberi analgesik. 2 minggu kemudian pasien mengalami episode penurunan kesadaran yang tidak diketahui sebabnya selama waktu yang tidak dapat ditentukan pasien tinggal sendiri dan saat pasien sadar ia tergeletak dilantai kamar mandi  dan muntah. Dokter pribadinya merujuk pasien ke RS lain untuk mendapat pendapat neurologis.
    saat pasien dilakukan pemeriksaan di klinik neurologi, dipikirkan bahwa pasien sudah teralu terlambat untuk mendapatkan pemeriksaan cairan serebrosponal untuk pemeriksaan adanya xantokromia, walaupun ia datang secepat mungkin setelah dirujuk. Pemeriksaan ct-scan ulang normal. Pada pasien segera dilakukan angiografi serebral yang menunjukkan aneurisma arteri komunikans posterior kiri  selanjutnya dilakukan penjepitan aneurisma dan berhasil. (Lionel Ginsberg, Neurologi, Hal 69).

1.    DIAGNOSA KEPERAWATAN
( Arif Muttaqin, Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan, Hal 142)
•    Risiko peningkatan TIK b.d adanya peningkatan volume intrakranial.
•    Perubahan perfusi jaringan otak yang b.d perdarahan intraserebral
•    Defisit perawatan diri b.d kelemahan neuromuskular, menurunnya kekuatan dan kesadaran







2.    INTERVENSI
( Arif Muttaqin, Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan, Hal 144-145)
Perubahan perfusi jaringan otak yang b.d perdarahan intraserebral
INTERVENSI    RASIONAL
Berikan penjelasan pada keluarga tentang sebab peningkatan TIK dan akibatnya.    Keluarga lebih berpartisipasi dalam roses penyembuhan
Baringkan klien dengan posisi tidur telentang tanpa bantal    Perubahan pada tekanan intrakranial dapat menyebabkan resiko untuk terjadinya herniasi otak
Monitor tanda-tanda neurologis dengan GCS    Dapat mengurangi kerusakan otak lebih lanjut
Monitor tanda-tanda vital seperti TD, nadi, suhu, respirasi dan hati-hati pada hipertensi sistolik    Pada keadaan normal autoregulasi mempertahankan keadaan tekanan darah sistemik berubah secara fluktuasi. Kegagalan autoregulasi akan menyebabkan kerusakan vaskuler serebral yang dapat dimanifestasikan dengan peningkatan sistolik dan diikuti oleh penurunan diastolik. Sedangkan peningkatan suhu dapat menggambarkan perjalanan infeksi
Monitor input dan output    Hipertermi dapat menyebabkan peningkatan IWL dan meningkatkan resiko dehidrasi terutama pada pasien yang tidak sadar, nausea yang menurunkan intake peroral
Ciptakan lingkungan yang tenang dan batasi pengunjung    Rangsangan aktifitas yang meningkat dapat meningkatkan TIK.istirahat total dan ketenangan mungkin diperlukan untuk pencegahan terhadap perdarahan


3.    IMPLEMENTASI
IMPLEMENTASI
memberikan penjelasan pada keluarga tentang sebab peningkatan TIK dan akibatnya.
R: keluarga menyimak dengan baik
H: keluarga lebih tenang menghadapi musibah klien
membaringkan klien dengan posisi tidur telentang tanpa bantal
R: klien melakukan dengan kooperatif
H: klien dapat berbaring dangan baik
memonitori tanda-tanda neurologis dengan GCS
R: klien mengikuti pemeriksaan dengan baik
H: hasil pemeriksaan GCS 13
Memonitori tanda-tanda vital seperti TD, nadi, suhu, respirasi dan hati-hati pada hipertensi sistolik
R: klien bersedia di periksa
H: hasil pemeriksaan tidak ada yang abnormal
Memonitori input dan output
R: klien mau bercerita secara terbuka
H: hanya muntah yang menjadi output tambahan
menciptakan lingkungan yang tenang dan batasi pengunjung
R: klien dan keluarga mau mengikuti intruksi
H: klien tampak tenang

4.    EVALUASI
S.O.A.P
S: klien mengatakan tidak muntah dan tidak merasa pusing lagi.
O: kesadaran klien tampak membaik dan tampak tenang
A: masalah teratasi sebagian
P: lanjutkan tindakan


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Perdarahan subarachnoid atau stroke hemorage merupakan penyakit dimana otak kehilangan fungsinya akibat berhentinya suplai darah ke otak. Di unit gawat darurat, penanganan diprioritaskan pada penanganan jalan napas, pola pernapasan dan sirkulasi. Dengan dilakukan penanganan pada ABC tadi diharapkan kesembuhan pasien, tidak terjadi kecacatan ataupun kematian.
B.    Saran
1)    Perawat yang bekerja di unit gawat darurat perlu memiliki keterampilan dalam penanganan pasien dengan perdarahan subarachnoid.
2)    Keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan riwayat perdarahan subarachnoid dan  lainnya dapat segera memeriksakan diri secara teratur untuk mencegah terjadinya stroke hemorageyang tidak tertolong.

DAFTAR PUSTAKA

Hartono. Kapita Selekta Neurologi. Gadjamada University Press. Yogyakarta.2009
Harsono. Buku Ajar Neurologi Klinis. Jakarta: EGC. 2009. Hal; 94-96.
Greenberg, Michael. Teks Atlas Kedokteran Kedaruratan Greenberg Jilid 1. Jakarta: Erlangga. 2004.
Snell, Richard. Neuroanatomi Klinik Edisi 5. Jakarta: EGC. 2007 Hal 24.
Muttaqin, Arif. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika. 2008.
Ginsberg, Lionel. Neurologi Edisi 8. Jakarta: Erlangga. 2008 Hal 69.
Waxman, Stephen. 26th Edition Clinical Neuroanatomy. Mc Graw Hill Medical: America. 2010

ASKEP NEURALGIA TRIGEMINAL

BAB I
Pendahuluan
A.    Latar belakang
Di indonesia, jumlah penderita neuralgia trigeminal (NT) diperkirakan mencapai 30.000 orang yang terdeteksi. Menurut sofyanto, nyeri yang dirasakan pada penderita NT serangannya sangat mendadak dan sakitnya tidak terhingga. Rasanya bagaikan ditusuk seribu jarum, tersambar petir atau obeng yang dimasukan dan dikeluarkan dari hidung yang diakibatkan adanya masalah disaraf trigeminal
Dia mengatakan, penyakit langka ini sulit disembuhkan dengan cepat karena didalam otak terdapat 12 pasang saraf, jika terganggu akan timbul masalah. Jika saraf trigeminal yang terganggu, muncul nyeri pada hidung, wajah dan gigi. Dia menegaskan, penyakit ini timbul bukan karena gigi, melainkan stres, kelelahan atau pun kecemasan pada penderita, dikatakan penyakit langka ini biasanya diderita oleh orang yang usianya diatas 40 tahun, karena diusia tersebut otak manusia mengecil. Secara anatomi akan menyebabkan perubahan posisi organ-organ yang ada disekitarnya termasuk pembuluh darah yang ada disaraf  batang otak
Prevalensi penyakit ini diperkirakan 107,5 pada lelaki dan 200,2 pada perempuan per 1 juta populasi penyakit ini lebih sering terjadi pada sisi kanan wajah dibandingkan dengan sisi kiri (rasio 3:2) dan merupakan penyakit pada kelompok usia dewasa.
Dari masalah diatas sebagai calon perawat kita wajib memahami gangguan yang terjadi pada  sistem saraf khususnya nervus ke-7 yaitu trigeminal. Oleh sebab itu kelompok mengangkat masalah ini menjadi makalah.
B.    Tujuan khusus dan umum
1.    Tujuan umum
Setelah membahas asuhan keperawatan pada klien dengan neuroglia trigeminal mahasiswa mampu memahami asuhan keperawatan pada klien dengan neuroglia trigeminal.
2.    Tujuan khusus
Setelah membahas tentang “Asuhan Keperawatan neuroglia trigeminal” mahasiswa mampu :
a.    Memahami dan menjelaskan Konsep Penyakit neuroglia trigeminal.
b.    Memahami dan menjelaskan Asuhan Keperawatan neuroglia trigeminal.
c.    Memahami dan menjelaskan Asuhan Keperawatan neuroglia trigeminal sesuai kasus.

C.    Metode penulisan
Dalam penulisan makalah ini kami menggunakan metode deskriptif, yang diperoleh dari literature dari berbagai media baik buku maupun internet yang disajikan dalam bentuk makalah.
D.    Sistem penulisan
Sistematika dalam penulisan makalah ini adalah :
BAB I    : Pendahuluan yang terdiri dari Latar Belakang, Tujuan, Metode, dan Sistematika Penulisan.
BAB II    : Terdiri dari Konsep Penyakit neuroglia trigeminal, Asuhan Keperawatan neuroglia trigeminal, Kasus neuroglia trigeminal.
BAB III    : Penutup yang terdiri dari Kesimpulan dan Saran

BAB II
Tinjauan teori

A.    Ringkasan konsep berbagai penyakit
ANATOMI NERVUS TRIGEMINUS
Nervus Trigeminus merupakan nervus cranialis yang terbesar dan melayani arcus branchialis pertama. Nervus ini mengandung serat-serat branchiomotorik dan aferen somatik umum (yang terdiri atas komponen ekteroseptif dan komponen proprioseptif), dengan nuclei sebagai berikut :
a.    Nucleus Motorius Nervi Trigemini
Dari nucleus ini keluar serat-serat branchiomotorik yang berjalan langsung ke arah ventrolateral menyilang serat-serat penduculus cerebellaris medius (fibrae pontocerebellares) dan pada akhirnya akan melayani m. Masticatores melalui rami motori nervi mandibularis dan m. Tensor Veli Palatini serta m. Mylohyoideus.
b.    Nucleus Pontius, Nervi Trigemini dan Nucleus Spinalis Nervi Trigemini.
Kedua Nucleus ini menerima impuls-impuls eksteroseptif dari daerah muka dan daerah calvaria bagian ventral sampai vertex.
Di antara kedua nucleus diatas terdapat perbedaan fungsioal yang penting : di dalam nucleus Pontius berakhir serat-serat aferen N. V yang relatif kasar, yang mengantarkan impuls-impuls rasa raba, sedangkan nucleus spinalis N. V terdiri atas sel-sel neuron keci; dan menerima serat-serat N. V yang halus yang mengantarkan impuls-impuls eksteroseptif  nyeri dan suhu.

B.    Konsep penyakit Trigeminal Neuralgia
1.    Definisi
Adalah serangan nyeri wajah pada area persarafan nervus trigeminus pada satu cabang atau lebih secara progsismal berupa rasa nyeri tajam, terkadang disertai kontraksi otot-otot (Rose C.F. 1997). 
Adalah penyakit yang disebabkan oleh sentuhan atau penekanan pembuluh darah pada syaraf  ke 5 yaitu saraf nervus kranialis terbesar yang mengatur rasa wajah yang letaknya disekitar batang otak.
 neuralgia trigeminal berarti nyeri pada nervus trigeminus, yang menghantarkan rasa nyeri menuju kewajah. Neuralgia trigeminal adalah suatu keadaan yang mempengaruhi N. V nervus kranialis terbesar.

2.    Etiologi
Neuralgia trigeminus (tic douloureux) ditandai oleh serangan nyeri paroksismal yang tajam menyengat atau menyetrum, berlangsung singkat (detik atau menit), unileteral pada daerah distribusi nervus V (trigeminus). Cabang ke tiga dan ke dua dari nervus trigeminus paling sering terkena dan titik pemicu nyeri seringkali ditemukan didaerah wajah terutama diatas lubang hidung dan mulut. Serangan terjadi spontan atau sedang menggosok gigi, bercukur, mengunyah, menyap atau menelan.
Pada 90% pasien, mula timbulnya diatas usia 40 tahun, dan wanita lebih sering terkena dari pada pria. Sebagian besar etiologi tidak dapat ditemukan. Bila disertai hipestesia pada daerah distribusi N.V, paresis saraf kranial lainnya, atau mulai timbul sebelum usia 40 tahun, maka harus dicurigai neuroglia trigeminus simtomatik atau atipik. Pemeriksaan penunjang diperlukan untuk mencari adanya sklerosis multipel, tumor saraf trigeminus, atau tumor fosa posterior.
Mekanisme patofisiologis yang mendasari NT belum begitu pasti, walau sudah sangat banyak penelitian dilakukan. Kesimpulan Wilkins, semua teori tentang mekanisme harus konsisten dengan:
1. Sifat nyeri yang paroksismal, dengan interval bebas nyeri yang
lama.
2. Umumnya ada stimulus ‘trigger’ yang dibawa melalui aferen
berdiameter besar (bukan serabut nyeri) dan sering melalui divisi saraf kelima diluar divisi untuk nyeri.
3. Kenyataan bahwa suatu lesi kecil atau parsial pada ganglion
gasserian dan/ atau akar-akar saraf sering menghilangkan
nyeri.
4. Terjadinya NT pada pasien yang mempunyai kelainan
demielinasi sentral (terjadi pada 1% pasien dengan sklerosis
multipel)
Kenyataan ini tampaknya memastikan bahwa etiologinya adalah sentral dibanding saraf tepi. Paroksisme nyeri analog dengan bangkitan dan yang menarik adalah sering dapat dikontrol dengan obat-obatan anti kejang (karbamazepin dan fenitoin).
Tampaknya sangat mungkin bahwa serangan nyeri mungkin menunjukkan suatu cetusan ‘aberrant’ dari aktivitas neuronal yang mungkin dimulai dengan memasukkan input melalui saraf kelima, berasal dari sepanjang traktus sentral saraf kelima, atau pada tingkat sinaps sentralnya. Berbagai keadaan patologis menunjukkan penyebab yang mungkin pada kelainan ini.
Pada kebanyakan pasien yang dioperasi untuk NT ditemukan adanya kompresi atas ‘nerve root entry zone’ saraf kelima pada batang otak oleh pembuluh darah (45-95% pasien). Hal ini meningkat sesuai usia karena sekunder terhadap elongasi arteria karena penuaan dan arteriosklerosis dan mungkin sebagai penyebab pada kebanyakan pasien.
Otopsi menunjukkan banyak kasus dengan keadaan penekanan vaskuler serupa tidak menunjukkan gejala saat hidupnya. Kompresi nonvaskuler saraf kelima terjadi pada beberapa pasien. 1-8% pasien menunjukkan adanya tumor jinak sudut serebelopontin (meningioma, sista epidermoid, neuroma akustik, AVM) dan kompresi oleh tulang (misal sekunder terhadap penyakit Paget). Tidak seperti kebanyakan pasien dengan NT, pasien ini sering mempunyai gejala dan/atau tanda defisit saraf kranial.
Penyebab lain yang mungkin, termasuk cedera perifer saraf kelima (misal karena tindakan dental) atau sklerosis multipel, dan beberapa tanpa patologi yang jelas.

3.    Tanda dan gejala
Serangan Trigeminal Neuralgia daoat berlangsung dalam beberapa detik sampai menit. Beberapa orang merasakan sakitringan, kadang terasa seperti ditusuk. Sementara yang lain merasakan nyeri yang cukup kerap, berat, seperti nyeri saat kena setrumlistrik. Penderita Trigeminal neuralgia yang berat menggambarkan rasa sakitnya seperti ditembak, kena pukulan jab, atau ada kawat di sepanjang wajahnya.Serangan ini hilang timbul. Bisa jadi dalam sehari tidak ada rasa sakit. Namun, bisa juga sakit menyerang setiap hari atau sepanjang Minggu. Lalu, tidak sakit lagi selama beberapa waktu. Trigeminal neuralgia biasanya hanya terasa di satu sisi wajah, tetapi bisa juga menyebar dengan pola yang lebih luas. Jarang sekali terasa di kedua sisi wajah dlm waktu bersamaan.
 Pada beberapa penderita, mata, telinga atau langit-langit mulut dapat pula terserang. Pada kebanyakan penderita, nyeri berkurang saat malam hari, atau pada saat penderita berbaring

4.    Patofisiologi
Neuralgia Trigeminal dapat terjadi akibat berbagai kondisi yang melibatkan sistem persarafan trigeminus ipsilateral. Pada kebanyakan kasus, tampaknya yang menjadi etiologi adalah adanya kompresi oleh salah satu arteri di dekatnya yang mengalami pemanjangan seiring dengan perjalanan usia, tepat pada pangkal tempat keluarnya saraf ini dari batang otak. Lima sampai delapan persen kasus disebabkan oleh adanya tumor benigna pada sudut serebelo-pontin seperti meningioma, tumor epidermoid, atau neurinoma akustik. Kira-kira 2-3% kasus karena sklerosis multipel. Ada sebagian kasus yang tidak diketahui sebabnya. Menurut Fromm, neuralgia Trigeminal bisa mempunyai penyebab perifer maupun sentral.
Sebagai contoh dikemukakan bahwa adanya iritasi kronis pada saraf ini, apapun penyebabnya, bisa menimbulkan kegagalan pada inhibisi segmental pada nukleus/ inti saraf ini yang menimbulkan produksi ectopic action potential pada saraf Trigeminal. Keadaan ini, yaitu discharge neuronal yang berlebihan dan pengurangan inhibisi, mengakibatkan jalur sensorik yang hiperaktif. Bila tidak terbendung akhirnya akan menimbulkan serangan nyeri. Aksi potensial antidromik ini dirasakan oleh pasien sebagai serangan nyeri trigerminal yang paroksismal. Stimulus yang sederhana pada daerah pencetus mengakibatkan terjadinya serangan nyeri.
Efek terapeutik yang efektif dari obat yang diketahui bekerja secara sentral membuktikan adanya mekanisme sentral dari neuralgi. Tentang bagaimana multipel sklerosis bisa disertai nyeri Trigeminal diingatkan akan adanya demyelinating plaques pada tempat masuknya saraf, atau pada nukleus sensorik utama nervus trigeminus.
5.    Pathway
6.    Pemeriksaan penunjang
MRI dan CT-scan hanya dilakukan atas indikasi, misalnya terdapat kecurigaan penekanan radiks N. V oleh aneurisma, meningioma atau akibat


7.    Penatalaksanaan medis
Pengobatan pada dasarnya dibagi atas 3 bagian:
1. Penatalaksanaan pertama dengan menggunakan obat.
2. Pembedahan dipertimbangkan bila obat tidak berhasil secara memuaskan.
3. Penatalaksanaan dari segi kejiwaan.

1.    Terapi Medis (Obat)
•    Fenitoin. Banyak pasien yang memberikan respon baik terhadap penitoin saja (200-300 mg/hr)
•    Karbamazepin. Sekitar 80% pasien memberikan respon baik terhadap pengobatan awal dengan karbamazepin (400-1200 mg/hari). Respon terhadap karbamazepin bermenfaat untuk membedakan neuroglia trigeminus dari kasus nyeri fasial atipik tertentu. Baik fenitoin maupun karbamazepin dapat menimbulkan ataksia (terutama bila dipakai bersamaan). Komplikasi karbamazepin yang jarang adalah leukopenia, trombositopenia, dan gangguan fungsi hati, oleh sebab itu perlu pemantauan leukosit darah secara berkala, hitung trombosit dan fungsi hati. Setelah perbaikan awal, banyak pasien mengalami nyeri kambuhan meskipun kadar kedua obat ini dalam darah mencukupi
•    Baklofen (Lioresal) dapat memberikan perbaikan pada beberapa pasien. Baklofen dapat diberikan tersendiri atau kombinasi dengan fenitoin atau karbamazepin. Dosis awal yang lazim adalah 5-10mg, tiga kali sehari, dengan peningkatan perlahan-lahan bila diperlukan, sampai 20mg empat kali sehari
•    Klonazepam. Beberapa laporan menunjukan bahwa obat ini efektif pada beberapa kasus, dengan dosis 0,5-1,0 mg per oral, 3 kali sehari.

2.    Terapi Non-Medis (
Tindakan operasi. Tindakan ini dilakukan bila semua upaya terapi farmakologis tidak berhasil. Tiga prosedur yang sering dipakai dalam pengobatan neuroglia trigeminus adalah :
1.    Rizotomi termal selektif radiofrekuensi pada ganglion atau radiks trigeminus yang dilakukan melalui kulit dengan anestesia lokal dosertai barbiturat kerja singkat. Efek samping tindakan ini adalah anestesia dolorosa. Tindakan untuk destruksi serabut-serabut nyeri dalam nervus trigeminus dapat dilakukan juga dengan bedah dingin (cryosurgery) dan inflasi balon dalam rongga meckel
2.    Injeksi gliserol ke dalam sisterna trigeminus (rongga meckel) dapat dilakukan perkutan. Tindakan ini dapat menyembuhkan nyeri dengan gangguan sensorik pada wajah yang minimal.
Bagi kebanyakan pasien, terutama yang lebih muda, kraniektomi suboksipital dengan bedah mikro untuk memperbaiki posisi pembuluh darah yang menekan radiks saraf trigeminus pada tempat masuknya di pons, lebih dapat diterima karena tidak menyebabkan defisit sensorik.
3.    Penatalaksanaan dari Segi Kejiwaan
Hal lain yang penting untuk diperhatikan selain pemberian obat dan pembedahan adalah segi mental serta emosi pasien. Selain obat-obat anti depresan yang dapat memberikan efek perubahan kimiawi otak dan mempengaruhi neurotransmitter baik pada depresi maupun sensasi nyeri, juga dapat dilakukan teknik konsultasi biofeedback (melatih otak untuk mengubah persepsinya akan rasa nyeri) dan teknik relaksasi.
8.    Komplikasi


C.    Asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan neuralgia trigeminus
1.    Pengkajian
2.    Diagnosa keperawatan
3.    Perencanaan
4.    Pertimbangan pediatrik dan gerontik
D.    Kasus
1.    Contoh
2.    Analisis data
3.    Diagnosa keperawatan
4.    Perencanaan
5.    Implementasi
6.    Evaluasi

BAB III
Penutup
A.    Kesimpulan
Neuralgia Trigeminal merupakan suatu keluhan serangan nyeri wajah satu sisi yang berulang, disebut Trigeminal neuralgia, karena nyeri di wajah ini terjadi pada satu atau lebih saraf dari tiga cabang saraf Trigeminal. Rasa nyeri disebabkan oleh terganggunya fungsi saraf Trigeminal sesuai dengan daerah distribusi persarafan salah satu cabang saraf Trigeminal yang diakibatkan oleh berbagai penyebab. Pada kebanyakan kasus, tampaknya yang menjadi etiologi adalah adanya kompresi oleh salah satu arteri di dekatnya yang mengalami pemanjangan seiring dengan perjalanan usia, tepat pada pangkal tempat keluarnya saraf ini dari batang otak.
Kunci diagnosis adalah riwayat. Faktor riwayat paling penting adalah distribusi nyeri dan terjadinya ’serangan’ nyeri dengan interval bebas nyeri relatif lama. Nyeri mulai pada distribusi divisi 2 atau 3 saraf kelima, akhirnya sering menyerang keduanya. Beberapa kasus mulai pada divisi 1. Biasanya, serangan nyeri timbul mendadak, sangat hebat, durasinya pendek (kurang dari satu menit), dan dirasakan pada satu bagian dari saraf Trigeminal, misalnya bagian rahang atau sekitar pipi. Nyeri seringkali terpancing bila suatu daerah tertentu dirangsang (trigger area atau trigger zone).Trigger zones sering dijumpai di sekitar cuping hidung atau sudut mulut.
Obat untuk mengatasi Trigeminal neuralgia biasanya cukup efektif. Obat ini akan memblokade sinyal nyeri yang dikirim ke otak, sehingga nyeri berkurang. Bila ada efek samping, obat lain bisa digunakan sesuai petunjuk dokter tentunya.
Beberapa obat yang biasa diresepkan antara lain Carbamazepine (Tegretol, Carbatrol), Baclofen. Ada pula obat Phenytoin (Dilantin, Phenytek), atau Oxcarbazepine (Trileptal). Dokter mungkin akan memberi Lamotrignine (Lamictal) atau Gabapentin (Neurontin). Pasien Trigeminal neuralgia yang tidak cocok dengan obat-obatan bisa memilih tindakan operasi.

ASKEP LOW BACK PAIN (NYERI PUNGGUNG)

LOW BACK PAIN
A.     Definisi
Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang actual maupun potensial. Definisi keperawatan tentang nyeri adalah, apapun yang menyakitkan tubuh yang dikatakan individu/seseorang yang mengalaminya, yang ada kapanpun orang tersebut mengatakannya(2) . Peraturan utama dalam merawat pasien dengan nyeri adalah bahwa semua nyeri adalah nyata, meskipun penyebabnya tidak diketahui. Oleh karena itu, keberadaan nyeri adalah berdasarkan hanya pada laporan pasien.
Low Back Pain (LBP) atau Nyeri punggung bawah adalah suatu sensasi nyeri yang dirasakan pada diskus intervertebralis umumnya lumbal bawah, L4-L5 dan L5-S1 (2,4).
B.    Etiologi
Kebanyakan nyeri punggung bawah disebabkan oleh salah satu dari berbagai masalah muskuloskeletal (misal regangan lumbosakral akut, ketidakstabilan ligamen lumbosakral dan kelemahan otot, osteoartritis tulang belakang, stenosis tulang belakang, masalah diskus intervertebralis, ketidaksamaan panjang tungkai).  Penyebab lainnya meliputi obesitas, gangguan ginjal, masalah pelvis, tumor retroperitoneal, aneurisma abdominal dan masalah psikosomatik. Kebanyakan nyeri punggung akibat gangguan muskuloskeletal akan diperberat oleh aktifitas, sedangkan nyeri akibat keadaan lainnya tidak dipengaruhi oleh aktifitas (2,4) .
C.    Patofisiologi
Struktur spesifik dalam system saraf terlibat dalam mengubah stimulus menjadi sensasi nyeri. Sistem yang terlibat dalam transmisi dan persepsi nyeri disebut sebagai system nosiseptif. Sensitifitas dari komponen system nosiseptif dapat dipengaruhi oleh sejumlah factor dan berbeda diantara individu. Tidak semua orang yang terpajan terhadap stimulus yang sama mengalami intensitas nyeri yang sama. Sensasi sangat nyeri bagi seseorang mungkin hampir tidak terasa bagi orang lain(1,3).
Reseptor nyeri (nosiseptor) adalah ujung saraf bebas dalam kulit yang berespons hanya pada stimulus yang kuat, yang secara potensial merusak, dimana stimuli tersebut sifatnya bisa kimia, mekanik, termal. Reseptor nyeri merupakan jaras multi arah yang kompleks. Serabut saraf ini bercabang sangat dekat dengan asalnya pada kulit dan mengirimkan cabangnya ke pembuluh darah local. Sel-sel mast, folikel rambut dan kelenjar keringat. Stimuli serabut ini mengakibatkan pelepasan histamin dari sel-sel mast dan mengakibatkan vasodilatasi. Serabut kutaneus terletak lebih kearah sentral dari cabang yang lebih jauh dan berhubungan dengan rantai simpatis paravertebra system saraf dan dengan organ internal yang lebih besar. Sejumlah substansi  yang dapat meningkatkan transmisi atau persepsi nyeri meliputi histamin, bradikinin, asetilkolin dan substansi P. Prostaglandin dimana zat tersebut yang dapat meningkatkan efek yang menimbulkan nyeri dari bradikinin. Substansi lain dalam tubuh yang berfungsi sebagai inhibitor terhadap transmisi nyeri adalah endorfin dan enkefalin yang ditemukan dalam konsentrasi yang kuat dalam system saraf pusat(1,3).
Kornu dorsalis dari medulla spinalis merupakan tempat memproses sensori, dimana agar nyeri dapat diserap secara sadar, neuron pada system assenden harus diaktifkan. Aktivasi terjadi sebagai akibat input dari reseptor nyeri yang terletak dalam kulit dan organ internal. Proses nyeri terjadi karena adanya interaksi antara stimulus nyeri dan sensasi  nyeri(1,3).
Patofisiologi Pada sensasi nyeri punggung bawah dalam hal ini kolumna vertebralis dapat dianggap sebagai sebuah batang yang elastik yang tersusun atas banyak unit vertebrae dan unit diskus intervertebrae yang diikat satu sama lain oleh kompleks sendi faset, berbagai ligamen dan otot paravertebralis. Konstruksi punggung yang unik tersebut memungkinkan fleksibilitas sementara disisi lain tetap dapat memberikanperlindungan yang maksimal terhadap sum-sum tulang belakang. Lengkungan tulang belakang akan menyerap goncangan vertical pada saat berlari atau melompat. Batang tubuh membantu menstabilkan tulang belakang. Otot-otot abdominal dan toraks sangat penting ada aktifitas mengangkat beban. Bila tidak pernah dipakai akan melemahkan struktur pendukung ini. Obesitas, masalah postur, masalah struktur dan peregangan berlebihan pendukung tulang belakang dapat berakibat nyeri punggung(2,4).
Diskus intervertebralis akan mengalami perubahan sifat ketika usia bertambah tua. Pada orang muda, diskus terutama tersusun atas fibrokartilago dengan matriks gelatinus. Pada lansia akan menjadi fibrokartilago yang padat dan tak teratur. Degenerasi diskus intervertebra merupakan penyebab nyeri punggung biasa. Diskus lumbal bawah, L4-L5 dan L5-S6, menderita stress paling berat dan perubahan degenerasi terberat. Penonjolan diskus atau kerusakan sendi dapat mengakibatkan penekanan pada akar saraf ketika keluar dari kanalis spinalis, yang mengakibatkan nyeri yang menyebar sepanjang saraf tersebut (2,4).
D.    Manifestasi Klinis
Pasien biasanya engeluh nyeri punngung akut maupun nyeri punggung kronis dan kelemahan. Selama wawancara awal kaji lokasi nyeri, sifatnya dan penjalarannya sepanjang serabut saraf (sciatica), juga dievaluasi cara jalan pasien, mobilitas tulang belakang, refleks, panjang tungkai, kekuatan motoris dan persepsi sensoris bersama dengan derajat ketidaknyamanan yang dialaminya. Peninggian tungkai dalam keadaan lurus yang mengakibatkan nyeri menunjukkan iritasi serabut saraf.
Pemeriksaan fisik dapat menemukan adanya spasme otot paravertebralis (peningkatan tonus otot tulang postural belakang yang berlebihan) disertai hilangnya lengkungan lordotik lumbal yang normal dan mungkin ada deformitas tulang belakang. Bila pasien diperiksa dalam keadaan telungkup, otot paraspinal akan relaksasi dan deformitas yang diakibatkan oleh spasme akan menghilang.
Kadang-kadang dasar organic nyeri punggung tak dapat ditemukan. Kecemasan dan stress dapat membangkitkan spasme otot dan nyeri. Nyeri punggung bawah bisa merupakan anifestasi depresi atau konflik mental atau reaksi terhadap stressor lingkungan dan kehidupan. Bila kita memeriksa pasien dengan nyeri punngung bawah, perawat perlu meninjau kembali hubungan keluarga, variable lingkungan dan situasi kerja (2,4).
E.    Evaluasi Diagnostik
Prosedur diagnostik perlu dilakukan pada pasien yang mendertita nyeri punggung bawah. Sinar X- vertebra mungkin memperlihatkan adanya fraktur, dislokasi, infeksi, osteoartritis atau scoliosis. Computed Tomografi (CT) berguna untuk mengetahui penyakit yang mendasari, seperti adanya lesi jaringan lunak tersembunyi disekitar kolumna vertebralis dan masalah diskus intervertebralis. USG dapat membantu mendiagnosa penyempitan kanalis spinalis. MRI memungkinkan visualisasi sifat dan lokasi patologi tulang belakang (2).


F.    Penatalaksanaan
Kebanyakan nyeri punggung bisa hilang sendiri dan akan sembuh dalam 6 minggu dengan tirah baring, pengurangan stress dan relaksasi. Pasien harus tetap ditempat tidur dengan matras yang padat dan tidak membal selama 2 sampai 3 hari. Posisi pasien dibuat sedemikian rupa sehingga fleksi lumbal lebih besar yang dapat mengurangi tekanan pada serabut saraf lumbal. Bagian kepala tempat tidur ditinggikan 30 derajat dan pasien sedikit menekuk lututnya atau berbaring miring dengan lutu dan panggul ditekuk dan tungkai dan sebuah bantal diletakkan dibawah kepala. Posisi tengkurap dihindari karena akan memperberat lordosis. Kadang-kadang pasien perlu dirawat untuk penanganan “konservatif aktif” dan fisioterapi. Traksi pelvic intermiten dengan 7 sampai 13 kg beban traksi. Traksi memungkinkan penambahan fleksi lumbal dan relaksasi otot tersebut.
Fisioterapi perlu diberikan untuk mengurangi nyeri dan spasme otot. Terapi bisa meliputi pendinginan (missal dengan es), pemanasan sinar infra merah, kompres lembab dan panas, kolam bergolak dan traksi. Gangguan sirkulasi , gangguan perabaan dan trauma merupakan kontra indikasi kompres panas. Terapi kolam bergolak dikontraindikasikan bagi pasien dengan masalah kardiovaskuler karena ketidakmampuan mentoleransi vasodilatasi perifer massif yang timbul. Gelombang ultra akan menimbulkan panas yang dapat meningkatkan ketidaknyamanan akibat pembengkakan pada stadium akut.
Obat-obatan mungkin diperlukan untuk menangani nyeri akut. Analgetik narkotik digunakan untuk memutus lingkaran nyeri, relaksan otot dan penenang digunakan untuk membuat relaks pasien dan otot yang mengalami spasme, sehingga dapat mengurangi nyeri. Obat antiinflamasi, seperti aspirin dan obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID), berguna untuk mengurangi nyeri. Kortikosteroid jangka pendek dapat mengurangi respons inflamasi dan mencegah timbulnya neurofibrosis yang terjadi akibat gangguan iskemia (2,4).
G.    Pengkajian
Pasien nyeri pungung dibimbing untuk menjelaskan ketidaknyamanannya (missal lokasi, berat, durasi, sifat, penjalaran dan kelemahan tungkai yang berhubungan). Penjelasan mengenai bagaimana nyeri timbul dengan tindakan tertentu atau dengan aktifitas dimana otot yang lemah digunakan secara berlebihan dan bagaimana pasien mengatasinya. Informasi mengenai pekerjaan dan aktifitas rekreasi dapat membantu mengidentifikasi area untuk pendidikan kesehatan.
Selama wawancara ini, perawat dapat melakukan observasi terhadap postur pasien, kelainan posisi dan cara jalan. Pada pemeriksaan fisik, dikaji lengkungan tulang belakang, Krista iliakan dan kesimetrisan bahu. Otot paraspinal dipalpasi dan dicatat adanya spasme dan nyeri tekan. Pasien dikaji adanya obesitas karena dapay menimbulkan nyeri punggung bawah (2).
H.    Diagnosa Keperawatan (2)
1.    Nyeri b.d masalah muskuloskeletal
2.    Kerusakan mobilitas fisik b.d nyeri, spasme otot, dan berkurangnya kelenturan
3.    Kurang pengetahuan b.d teknik mekanika tubuh melindungi punggung
4.    Perubahan kinerja peran b.d gangguan mobilitas dan nyeri kronik
5.    Gangguan nutrisi : lebih dari kebutuhan tubuh b. d obesitas
I.    Intervensi dan Implementasi (2)
1.    Meredakan nyeri
Untuk mengurangi nyeri perawat dapat menganjurkan tirah baring dan pengubahan posisi yang ditentukan untuk memperbaiki fleksi lumbal. Pasien diajari untuk mengontrol dan menyesuaikan nyeri yang dilakukan melalui pernafasan diafragma dan relaksasi dapat membantu mengurangi tegangan otot yang berperan pada nyeri punggung bawah. Mengalihkan perhatian pasien dari nyeri dengan aktifitas lain missal membaca buku, menonton TV maupun dengan imajinasi (membayangkan hal-hal yang menyenangkan dengan memusatkan perhatian pada hal tersebut).
Masase jaringan lunak dengan lembut sangat berguna untuk mengurangi spasme otot, memperbaiki peredaran darah dan mengurangi pembendungan serta mengurangi nyeri. Bila diberikan obat perawat harus mengkaji respon pasien pada setiap obat.
2.    Memperbaiki mobilitas fisik
Mobilitas fisik dipantau melalui pengkajian kontinu. Perawat mengkaji bagaimana pasien bergerak dan berdiri. Begitu nyeri punggung berkurang, aktifitas perawatan diri boleh dilakukan dengan regangan yang minimal pada struktur yang cedera. Perubahan posisi harus dilakukan perlahan dan dibatu bila perlu. Gerakan memutar dan melenggok perlu dihindari. Pasien didorong untuk berganti-ganti aktifiats berbaring, duduk dan berjalan-jalan dalam waktu lama. Perawat perlu mendorong pasien mematuhi program latihan sesuai yang ditetapkan, latihan yang salah justru tidak efektif.
3.    Meningkatkan mekanika tubuh yang tepat
    Pasien harus diajari bagaimana duduk, berdiri, berbaring dan mengangkat barang dengan benar.
4.    Pendidikan kesehatan
    Pasien harus diajari bagaimana duduk, berdiri, berbaring dan mengangkat barang dengan benar
5.    Memperbaiki kinerja peran
Tanggung jawab yang berhubungan dengan peran mungkin telah berubah sejak terjadinya nyeri punggung bawah. Begitu nyeri sembuh, pasien dapat kembali ke tanggung jawab perannya lagi. Namun bila aktifitas ini berpengaruh terhadap terjadinya nyeri pungung bawah lagi, mungkin sulit untuk kembali ke tanggung jawab semula tersebut tanpa menanggung resiko terjadinya nyeri pungggung bawah kronik dengan kecacatan dan depresi yang diakibatkan.
6.    Mengubah nutrisi dan penurunan berat badan
Penurunan BB melalui penyesuaian cara makan dapat mencegah kekambuhan nyeri punggung, dengan melalui rencana nutrisi yang rasional yang meliputi perubahan kebaisaaan makan untuk mempertahankan BB yang diinginkan.
J.    Evaluasi (2)
1.    Mengalami peredaan nyeri
-    Istirahat dengan nyaman
-    Mengubah posisi dengan nyaman
-    Menghindari ketergantungan obat
2.    Menunjukkan kembalinya mobilitas fisik
-    Kembali ke aktifitas secara bertahap
-    Menghindari posisi yang menyebabkan yang menyebabkan ketidaknyamanan otot
-    Merencanakan istirahat baring sepanjang hari
3.    Menunjukkan mekanika tubuh yang memelihara punggung
-    Perbaikan postur
-    Mengganti posisi sendiri untuk meminimalkan stress punggung
-    Memperlihatkan penggunaan mekanika tubuh yang baik
-    Berpartisipasi dalam program latihan
4.    Kembali ke tanggung jawab yang berhubungan dengan peran
-    Menggunakan teknik menghadapi masalah untuk menyesuaikan diri dengan situasi stress
-    Memperlihatkan berkurangnya ketergantungan kepada orang lain untuk perawatan diri
-    Kembali ke pekerjaan bila nyeri punggung telah sembuh
-    Kembali ke gaya hidup yang produktif penuh
5.    Mencapai BB yang diinginkan
-    Mengidentifikasi perlunya penurunan BB
-    Berpartisipasi dalam pengembangan rencana penurunan BB
-    Setia dengan program penurunan BB
Daftar Pustaka :
1.    Brunner & Suddarth, Alih Bahasa Monica Ester, SKP ; Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, Volume 1, EGC, Jakarta, 2002
2.    Brunner & Suddarth, Alih Bahasa Monica Ester, SKP ; Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, Volume 3, EGC, Jakarta, 2002
3.    Ruth F. Craven, EdD, RN, Fundamentals Of Nursing, Edisi II, Lippincot, Philadelphia, 2000
4.    Wim de Jong, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, Cetakan I, EGC, Jakarta, 1997