Surabaya – Akreditasi merupakan hal
penting bagi sebuah rumah sakit. Akreditasi menjadi salah satu indikator
kinerja rumah sakit yang perlu diperhatikan di era Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN) ini. Tidak hanya menentukan standar pelayanan RS dalam
hal keselamatan pasien, akreditasi juga sangat berkaitan erat sebagai
sarana kendali mutu dan biaya JKN. Seperti yang disampaikan Dirjen Bina
Upaya Kesehatan, Prof. Dr. dr. Akmal Taher, SpU (K) dalam Seminar
Perumahsakitan dan Surabaya Hospital EXPO 2014, Rabu (7/05) di Surabaya.
Acara dengan tema “Perubahan Konsep
Bisnis dan Pelayanan Rumah Sakit setelah Pemberlakuan Akreditasi Versi
2012 dan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)” ini diselenggarakan oleh
PERSI daerah Jawa Timur dan dibuka oleh Gubernur Jawa Timur, Dr. H.
Soekarwo. Seminar membahas isu-isu penting tentang perumahsakitan,
terutama terkait Kebijakan dan Peraturan terkait Era Implementasi
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Pada kesempatan ini, Dirjen mengatakan
bahwa secara umum JKN mendapat tanggapan positif dari masyarakat. Hal
ini tercermin dari tingginya minat masyarakat mendaftar sebagai peserta.
Sampai dengan 21 Maret 2014, ada sebanyak 118.926.515 jiwa yang telah
terdaftar sebagai peserta BPJS.
“Dalam pelaksanaannya, terkait keluhan
masyarakat, Nakes dan manajemen Fasyankes terus dipantau dan langsung
dicarikan solusi. Sosialisasi dilakukan terus menerus,” kata Dirjen
dihadapan para tamu undangan dan peserta seminar.
Dirjen kemudian menyatakan bahwa selain
akreditasi, ada sejumlah indikator kinerja di rumah sakit yang perlu
diperhatikan dalam menyukseskan pelaksanaan JKN. Dirjen menyampaikan
bahwa RS dapat dikatakan berhasil melaksanakan JKN ketika lebih dari 75%
peserta puas dengan pelayanan rumah sakit.
“RS juga harus memperhatikan kualitas
pelayanan kesehatan, pemenuhan komitmen pelayanan, efisiensi biaya,
perencanaan mutu pelayanan dan keselamatan pasien, dan indikasi kejadian
Fraud & Abuse,” lengkapnya. Dalam mencegah peluang resiko hukum
dalam pelaksanaan JKN terutama terkait kendali mutu dan biaya, maka
harus diperhatikan hal-hal seperti diperlukannya pemahaman konsep INA
CBGs, pengkodean serta managemen resiko penanganan kewenangan pelayanan
di tingkat faskes melalui penerapan PNPK dan SPO (PMK 1438 th 2010).
“Tidak hanya itu, harus juga dipahami penerapan sistem rujukan berjenjang, penetapan regulasi untuk mencegah Fraud terhadap pelayanan di RS, dan Identifikasi RS untuk melakukan perubahan dan perbaikan internal,” jelasnya. Perubahan dan perbaikan internal dapat dilakukan dengan pembentukkan dewan pengawas rumah sakit, mengoptimalkan fungsi komite medik dalam meningkatkan mutu profesionalisme tenaga SDM kedehatan RS, serta membual clinical guideline di RS.
Terkait dengan tantangan dalam era JKN,
Dirjen kemudian menyatakan bahwa dalam pelaksanaan JKN yang telah
dimulai sejal 1 Januari 2014 lalu masih dihadapkan dengan sejumlah
tantangan seperti tarif INA CBGs, sistim verifikasi klaim, dan kemampuan
FKT menyelesaikan 155 penyakit dan gejala.
“Pelayanan kesehatan ibu seperti ANC,
PNC, KB di faskes tingkat pertama dibayar secara kapitasi sehingga
mengurangi percepatan cakupan program dan pelayanan kesehatan di RS,
termasuk 155 diagnosa pelayanan dasar tidak dapat diklaimkan. Oleh
karena itu dilakukan pengaturan kejelasan prosedur rujukan medis untuk
155 diagnosa agar dapat diklaimkan RS,” tambahnya.
Dirjen kemudian menyampaikan efisiensi
pelayanan di provider kesehatan dan peningkatan mutu pelaksanaan JKN
akan dilakukan secara bertahap. Menurutnya, suksesnya JKN ditandai
dengan program yang bersifat sustainable atau berkelanjutan. “Untuk itu
perlu dikawal tidak hanya oleh pemerintah tetapi juga stakeholders
termasuk RS dan profesi,” tutupnya. ***
**Berita ini disiarkan oleh Bagian
Hukormas, Sekretariat Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi
melalui nomor telepon : 021-5277734 atau alamat e-mail :
humas.buk@gmail.com
No comments:
Post a Comment