Thursday, May 29, 2014

ASKEP BELL PALSY

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis fasial akut. Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden terendah ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden Bell’s palsy setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bell’s palsy rata-rata 15-30 kasus per 100.000 populasi. Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih tinggi, dibanding non-diabetes. Bell’s palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena dari pada laki-laki pada kelompok umur yang sama. Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya Bell’s palsy lebih tinggi dari pada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat.
Sedangkan di Indonesia, insiden Bell’s palsy secara pasti sulit ditentukan. Data yang dikumpulkan dari 4 buah Rumah sakit di Indonesia didapatkan frekuensi Bell’s palsy sebesar 19,55 % dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21 – 30 tahun. Lebih sering terjadi pada wanita daripada pria. Tidak didapati perbedaan insiden antara iklim panas maupun dingin, tetapi pada beberapa penderita didapatkan adanya riwayat terpapar udara dingin atau angin berlebihan .
Bell’s palsy atau prosoplegia adalah kelumpuhan fasialis akibat paralisis nervus fasial perifer yang terjadi secara akut dan penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) di luar sistem saraf pusat tanpa disertai adanya penyakit neurologis lainnya.
Paralisis fasial idiopatik atau Bell’s palsy, ditemukan oleh Sir Charles Bell, dokter dari Skotlandia. Bell’s palsy sering terjadi setelah infeksi virus ( misalnya herpes simplex) atau setelah imunisasi, lebih sering terjadi pada wanita hamil dan penderita diabetes serta penderita hipertensi Lokasi cedera nervus fasialis pada Bell’s palsy adalah di bagian perifer nukleus nervus VII. Cedera tersebut terjadi di dekat ganglion genikulatum.
Salah satu gejala Bell’s palsy adalah kelopak mata sulit menutup dan saat penderita berusaha menutup kelopak matanya, matanya terputar ke atas dan matanya tetap kelihatan.Gejala ini disebut juga fenomena Bell. Pada observasi dapat dilihat juga bahwa gerakan kelopak mata yang tidak sehat lebih lambat jika dibandingkan dengan gerakan bola mata yang sehat (lagoftalmos).

B.    TUJUAN PENULISAN
1.    Tujuan umum
Untuk memberi gambaran dan ilmu pengetahuan tentang konsep dasar penyakit bells’ palsy. Dan agar mahasiswa dapat menyusun asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit bell’s palsy.
2.    Tujuan khusus
a.    Mahasiswa mampu memahami anatomi bells palsy.
b.    Mahasiswa mampu memahami definisi bells palsy.
c.    Mahasiswa mampu memahami etiologi bells palsy.
d.    Mahasiswa mampu memahami patofisiologi serta partway bells palsy.
e.    Mahasiswa mampu memahami manifestasi klinis bells palsy.
f.    Mahasiswa mampu memahami pentalaksanan bells palsy
g.    Mahasiswa mampu memahami komplikasi dan prognosis bells palsy.
h.    Mahasiswa mampu memahami pemeriksaan penunjang bells palsy.
i.    Mahasiswa mampu memahami asuhan keperwatan bells palsy yang diambil dari kasus.






C.    METODE PENULISAN
            Adapun metode penulisan pada makalah ini dengan metode deskriptif dan melalui pengumpulan literatur dari berbagai sumber. Dalam penyampaian ini kami menggunakan metode presentasi supaya audient dapat dengan mudah mencerna materi ini.
D.    SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penulisan pada makalah ini yaitu :
Bab I  :    Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, tujuan, metode penulisan dan sistematika Penulisan.
Bab II :    Tinjauan teoritis terdiri dari Konsep Dasar Penyakit Bell’s palsy (Pengertian, anatomi, etiologi, manifestasi klinik, parthway, prognosis penyakit, patofisiologi,  pemeriksaan penunjang, komplikasi dan penatalaksanaan), dan Asuhan Keperawatan Bell’s palsy (Pengkajian, Diagnosa Keperawatan, Rencana Asuhan Keperawatan dan Evaluasi).
BAB III:     Penutup terdiri dari Kesimpulan dan Saran
DAFTAR PUSTAKA









BAB II
TINJAUAN TEORI
KONSEP DASAR PENYAKIT BELL’S PALSY
A.    ANATOMI
Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :
1.    Serabut somato motorik
Serabut somato motorik yang mensarafi otot-otot wajah (kecuali m. levator palpebrae (nervus III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan stapedius di telinga tengah).
2.    Serabut visero-motorik (parasimpatis)
Serabut visero-motorik yang datang dari nukleus salivatorius superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum, rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula submaksilaris serta sublingual dan lakrimalis.
3.    Serabut visero-sensorik
Serabut visero-sensorik yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua pertiga bagian depan lidah.
4.    Serabut somato-sensorik
Serabut somato-sensorik rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba) dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus trigeminus.

Nervus fasialis (Nervus VII) terutama merupakan saraf motorik yang menginervasi otot-otot ekspresi wajah. Di samping itu saraf ini membawa serabut parasimpatis ke kelenjar ludah dan air mata dan ke selaput mukosa rongga mulut dan hidung, dan juga menghantarkan sensasi eksteroseptif dari daerah gendang telinga, sensasi pengecapan dari 2/3 bagian depan lidah, dan sensasi visceral umum dari kelenjar ludah, mukosa hidung dan faring, dan sensasi proprioseptif dari otot yang disarafinya.
Secara anatomis bagian motorik saraf ini terpisah dari bagian yang menghantar sensasi dan serabut parasimpatis, yang terakhir ini sering dinamai saraf intermedius atau pars intermedius Wisberg. Sel sensoriknya terletak di ganglion genikulatum, pada lekukan saraf fasialis di kanal fasialis. Sensasi pengecapan daru 2/3 bagian depan lidah dihantar melalui saraf lingual korda timpani dan kemudian ke ganglion genikulatum. Serabut yang menghantar sensasi ekteroseptif mempunyai badan selnya di ganglion genikulatum dan berakhir pada akar desenden dan inti akar decenden dari saraf trigeminus (Nervus V). hubungan sentralnya identik dengan saraf trigeminus.
Inti motorik nervus VII terletak di pons. Serabutnya mengitari nervus VI, dan keluar di bagian leteral pons. Nervus intermedius keluar di permukaan lateral pons, di antara nervus V dan nervus VIII. Nervus VII bersama nervus intermedius dan nervus VIII memasuki meatus akustikus internus. Di sini nervus fasialis bersatu dengan nervus intermedius dan menjadi satu berkas saraf yang berjalan dalam kanalis fasialis dan kemudian masuk ke dalam os mastoid. Ia keluar dari tulang tengkorak melalui foramen stilomastoid, dan bercabang untuk mersarafi otot- otot wajah.
(Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persyarafan)

B.    DEFINISI
Bell's Palsy (BP) ialah suatu kelumpuhan akut nervus fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya. Sir Charles Bell (1821) adalah orang yang pertama meneliti beberapa penderita dengan wajah asimetrik, sejak itu semua kelumpuhan nervus fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya disebut Bell's pals. Pengamatan klinik, pemeriksaan neurologik, laboratorium dan patologi anatomi menunjukkan bahwa BP bukan penyakit tersendiri tetapi berhubungan erat dengan banyak faktor dan sering merupakan gejala penyakit lain. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada usia dewasa, jarang pada anak di bawah umur 2 tahun. Biasanya didahului oleh infeksi saluran napas bagian atas yang erat hubungannya dengan cuaca dingin.
(Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persyarafan).
Kelumpuhan nervus vasialis (N.Vll) adalah kelumpuhan otot wajah, sehingga wajah pasien tampak tidak simetris  pada waktu berbicara dan berekspresi. Hanya merupakan gejala sehingga  harus dicari penyebab dan derajat kelumpuhannya  untuk mementukan terapi  dan prognosis.
(Kapita Selekta Kedokteran. 2000. Jakarta. Hal 92-93)


Gambar 2.1 saraf-saraf yang berhubungan
C.    ETIOLOGI
Penyebab tersering adalah virus herpes simpleks-tipe 1. Dan penyebab lain bell palsy antara lain:
1.    Infeksi virus lain.
2.    Neoplasma: setelah pengangkatan tumor otak (neuroma akustik) atau tumor lain.
3.    Trauma: fraktur basal tengkorak, luka di telinga tengah, dan menyelam.
4.    Neurologis: sindrom Guillain-Barre.
5.    Metabolik: kehamilan, diabetes melitus, hipertiroidisme, dan hipertensi.
6.    Toksik: alkohol, talidomid, tetanus, dan karbonmonoksida.
(Dewanto, George. 2010. Praktis diagnosa & tatalaksana penyakit saraf. EGC : Jakarta)

D.    PATOFISIOLOGI
Bell’s plasy dipertimbangkan dengan beberapa tipe paralis tekanan. Saraf yang radang dan edema saraf pada titik kerusakan, atau pembuluh nutriennya  tersumbat pada titik yang menghasilkan nekrosis iskemik dalam kanal panjangnya saluran yang paling baik sangat sempit. Ada penyimpangan wajah berupa palisis otot wajah; peningkatan lakrimalis (air mata); sensasi nyeri pada wajah, belakang  telinga, dan pada klien yang mengalami kerusakan bicara, dan kelamahan otot wajah  atau otot wajah pada sisi yang terkena.


























E.    PARTHWAY




M. Temporal

Inflamasi saraf VII

Edema, saraf terjepit

Nutrien dan listrik (abnormal)

Bell palsy











-    Hambatan komunikasi verbal
-    Gangguan citra tubuh
-    Gangguan konsep diri
-    Gangguan menelan





F.    MANIFESTASI KLINIS
1.    Gejala Pada Sisi Wajah Ipsilateral
•    Kelemahan otot wajah ipsilateral
•    Kerutan dahi menghilang ipsilateral
•    Tampak seperti orang letih
•    Tidak mampu atau sulit mengedipkan mata
•    Hidung terasa kaku
•    Sulit berbicara
•    Sulit makan dan minum
•    Sensitif terhadap suara ( hiperakusis )
•    Saliva yang berlebihan atau berkurang
•    Pembengkakan wajah
•    Berkurang atau hilangny rasa kecap
•    Nyeri didalam atau disekitar telinga
•    Air liur sering keluar
2.    Gejala Pada Mata  Ipsilateral
•    Sulit atau tidak mampu menutup mata
•    Air mata berkurang
•    Kelopak mata bawah jatuh
•    Sensitif terhadap cahaya
3.    Residual
•    Mata terlihat lebih kecil
•    Kedipan mata jarang atau tidak sempurna
•    Senyum yang asimetris
•    Spasme hemifasial pascaparalitik
•    Otot hipertonik
•    Sinkenesia
•    Berkeringat saat makan atau saat beraktivitas
•    Otot menjadi lebih flaksid jika lelah
•    Otot menjadi kaku saat letih atau kedinginan
Secara klinis, saraf lain kadang-kadang ikut teriritasi, misalnya, rasa nyeri atau baal pada wajah yang bias disebabkan oleh iritasi N. V. (Dewanto, George. 2009)
G.    DIAGNOSIS
    Pada infeksi, terlihat pendataran dahi dan lipatan nasolabial pada sisi yang terkena. Ketika pasien diminta menaikan alis mata, sisi dahi yang lumpuh terlihat datar . ketika pasien diminta tersenyum, wajah menjadi menyimpang dan terdapat lateralisasi kesisi yang berlawanan dari yang lumpuh. Pasien tidak dapat menutup matanya secara sempurna pada posisi yang lumpuh. Pada saat berusa menutup mata, bola mata seolah bergulir keatas pada sisi yang lumpuh. Hal ini disebut fenomena Bell dan merupakan hal yang normal pada saat menutup mata.
    Pemeriksaan yang teliti pada kepala, telinga, mata, hidung, dan tenggorokan harus dilakukan pada pasien dengan kelumpuhan wajah. Pada telinga luar harus dilihat adanya vesikel, infeksi atau terauma, penurunan sensisbilitas rasa nyeri didaerah auricular posterior. Pasien dengan paralisis otot stapedius mengalami hiverakusis. (Dewanto, George. 2009)

H.    PENATALAKSANAAN MEDIS
1.    Terapi Non-farmakologis
a.    Kornea mata memiliki risiko mengering dan terpapar benda asing. Proteksinya dapat dilakukan dengan peng-gunaan air mata buatan  (artificial tears), pelumas (saat tidur), kaca mata, plester mata, penjahitan kelopak mata atas, atau tarsorafi lateral (penjahitan bagian lateral kelopak mata atas dan bawah).
b.    Masase dari otot yang lemah dapat dikerjakan secara halus dengan mengangkat wajah ke atas dan membuat gerakan melingkar.  Tidak terdapat bukti adanya efektivitas dekompresi melalui pembedahan saraf fasialis, namun tindakan ini kadang dilakukan pada kasus yang berat dalam 14 hari onset.
c.    Rehabilitasi fasial secara komprehensif yang dilakukan dalam empat bulan setelah onset terbukti memperbaiki fungsi pasien dengan paralisis fasialis. Rehabilitasi fasial meliputi edukasi, pelatihan neuro-muskular, masase, meditasi-relaksasi, dan program pelatihan di rumah. Terdapat empat kategori terapi yang dirancang sesuai dengan keparahan penyakit, yaitu kategori inisiasi, fasilitasi, kontrol gerakan, dan relaksasi.
1)    Kategori inisiasi ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah sedang-berat saat istirahat dan tidak dapat memulai gerakan pada sisi yang lumpuh.  Strategi yang digunakan berupa masase superfisial disertai latihan gerak yang dibantu secara aktif sebanyak 10 kali yang dilakukan 1-2 set per hari dan menghindari gerakan wajah berlebih.
2)    kategori fasilitasi ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah ringan-sedang saat istirahat, mampu menginisiasi sedikit gerakan dan tidak terdapat sinkinesis. Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak otot wajah yang lebih agresif dan reedukasi neuromuskular di depan kaca (feedbackvisual) dengan melakukan gerakan ekspresi wajah yang lambat, terkontrol, dan bertahap untuk membentuk gerakan wajah yang simetris. Latihan ini dilakukan sebanyak minimal 20-40 kali dengan 2-4 set per hari.
3)    kategori kontrol gerakan yang ditujukan pada pasien dengan simetri wajah ringan-sedang saat istirahat, masih mampu menginisiasi sedikit gerakan, dan terdapat sinkinesis. Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak dalam otot wajah dengan agresif, reedukasi neuromuskular di depan kaca seperti kategori fasilitasi, namun secara simultan mengontrol gerakan sinkinesis pada bagian wajah lainnya, dan disertai inisiasi.
4)    strategi meditasi-relaksasi. Pada pasien dengan kekencangan seluruh wajah yang parah karena sinkinesis dan hipertonisitas. Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak dalam otot wajah dengan agresif, reedukasi neuromuskular di depan kaca, dan fokus pada strategi meditasi-relaksasi yaitu meditasi dengan gambar vi-sual atau audio difokuskan untuk melepaskan ketegangan pada otot yang sinkinesis. Latihan ini cukup dilakukan 1-2 kali per hari.
2.    Terapi Farmakologis
Inflamasi dan edema saraf fasialis merupakan penyebab paling mungkin dalam patogenesis  Bell’ s palsy.
a.    Steroid, terutama prednisolon yang dimulai dalam 72 jam dari onset, harus dipertimbangkan untuk optimalisasi hasil pengobatan. Penggunaan steroid dapat mengurangi kemungkinan paralisis permanen dari pembengkakan pada saraf di kanalis fasialis yang sempit. Dosis pemberian prednison (maksimal 40-60 mg/hari) dan prednisolon (maksimal 70 mg) adalah 1 mg/kg/hari peroral selama enam hari diikuti empat hari tappering off. Efek toksik dan hal yang perlu diperhatikan pada penggunaan steroid jangka panjang (lebih dari 2 minggu)  berupa retensi cairan, hipertensi, diabetes, ulkus peptikum, osteoporosis, supresi kekebalan tubuh (rentan terhadap infeksi), dan Cushing syndrome.
b.    Dosis pemberian asiklovir untuk usia >2 tahun adalah 80 mg/kg/hari melalui oral dibagi dalam empat kali pemberian selama 10 hari. Sementara untuk dewasa diberikan dengan dosis oral 2 000-4 000 mg/hari yang dibagi dalam lima kali pemberian selama 7-10 hari. Sedangkan dosis pemberian valasiklovir (kadar dalam darah 3-5 kali lebih tinggi) untuk dewasa adalah 1 000-3 000 mg/hari secara oral dibagi 2-3 kali selama lima hari. Efek samping jarang ditemukan pada penggunaan preparat antivirus, namun kadang dapat ditemukan keluhan berupa adalah mual, diare, dan sakit kepala.

(Artikel. Lowis, Handoko & Maula N Gaharu. 2012. Bell’s Palsy, Diagnosis and Management in Primary Care. IDI)
I.    KOMPLIKASI
Sekitar 5% pasien setelah menderita  Bell’ s palsy mengalami sekuele berat yang tidak dapat diterima. Beberapa komplikasi yang sering terjadi akibat Bell’ s palsy, adalah
1.    Regenerasi motor inkomplit yaitu regenerasi suboptimal yang menyebabkan paresis seluruh atau beberapa muskulus fasialis.
2.    Regenerasi sensorik inkomplit yang menyebabkan disgeusia (gangguan pengecapan), ageusia (hilang pengecapan), dan disestesia (gangguan sensasi atau sensasi yang tidak sama dengan stimuli normal).
3.    Reinervasi yang salah dari saraf fasialis. Reinervasi yang salah dari saraf fasialis dapat menye-babkan:
a.    Sinkinesis yaitu gerakan involunter yang mengikuti gerakan volunter, contohnya timbul gerakan elevasi involunter dari sudut mata, kontraksi platysma, atau pengerutan dahi saat memejamkan mata.
b.    Crocodile tear phenomenon,  yang timbul beberapa bulan setelah paresis akibat regenerasi yang salah dari serabut otonom, contohnya air mata pasien keluar pada saat mengkonsumsi makanan.
Clonic facial spasm (hemifacial spasm),  yaitu timbul kedutan secara tiba-tiba (shock like)pada wajah yang dapat terjadi pada satu sisi wajah saja pada stadium awal, kemudian mengenai sisi lainnya (lesi bilateral tidak terjadi bersamaan). (Artikel. Lowis, Handoko & Maula N Gaharu. 2012. Bell’s Palsy, Diagnosis and Management in Primary Care. IDI)


J.    PROGNOSIS   
1.    Perjalanan alamiah  Bell’ s palsy bervariasi dari perbaikan komplit dini sampai cedera saraf substansial dengan sekuele permanen. Sekitar 80-90% pasien dengan  Bell’ s palsy sembuh Total dalam 6 bulan, bahkan pada 50-60% kasus membaik dalam 3 minggu.
2.    Sekitar 10% mengalami asimetri muskulus fasialis persisten, dan 5% mengalami sekuele yang berat, serta 8% kasus dapat rekuren.
Faktor yang dapat mengarah ke prognosis buruk adalah
-    Palsi komplit (risiko sekuele berat), riwayat rekurensi, diabe-tes, adanya nyeri hebat post aurikular, gangguan penge-capan, refleks stapedius, wanita hamil dengan Bell’ s palsy, bukti denervasi mulai setelah 10 hari (penyembuhan lambat), dan kasus dengan penyengatan kontras yang jelas.
Faktor yang dapat mendukung ke prognosis baik adalah
-    Paralisis parsial inkomplit pada fase akut (penyembuhan to-tal), pemberian kortikosteroid dini, penyembuhan awal dan atau perbaikan fungsi pengecapan dalam minggu pertama.
(Artikel. Lowis, Handoko & Maula N Gaharu. 2012. Bell’s Palsy, Diagnosis and Management in Primary Care. IDI)
K.    PEMERIKSAAN PENUNJANG
Bell’ s palsy merupakan diagnosis klinis sehingga pemeriksaan penunjang perlu dilakukan untuk menyingkirkan etiologi sekunder dari paralisis saraf kranialis.
1.    Pemeriksaan radiologis dengan CT-scan atau radiografi polos
Dilakukan untuk menyingkirkan fraktur, metastasis tulang, dan keterlibatan sistem saraf pusat (SSP).
2.    Pemeriksaan MRI
Dilakukan pada pasien yang dicurigai neoplasma di tulang temporal, otak, glandula parotis, atau untuk mengevaluasi sklerosis multipel. Selain itu, MRI dapat memvisualisasi perjalanan dan penyengatan kontras saraf fasialis.
3.    Pemeriksaan neurofisiologi
Bells palsy sudah dikenal sejak tahun 1970- sebagai prediktor kesembuhan, bahkan dahulu sebagai acuan pada penentuan kandidat tindakan dekompresi intrakanikular.
4.    Pemeriksaan elektromiografi (EMG)
Mempunyai nilai prognostik yang lebih baik dibandingkan elektro-neurografi (ENG). Pemeriksaan serial EMG pada penelitian tersebut setelah hari ke-15 mempunyai positive-predictive-value(PPV) 100% dan  negative-predictive-value(NPV) 96%. Spektrum abnormalitas yang didapatkan berupa penurunan amplitudo  Compound Motor Action Potential(CMAP), pemanjangan latensi saraf fasialis.
5.    Pemeriksaan blink reflexdidapatkan
Pemanjangan gelombang R1 ipsilat-eral. Pemeriksaan  blink reflex  ini  sangat bermanfaat karena 96% kasus didapatkan abnormalitas hingga minggu kelima, meski demikian sensitivitas pemeriksaan ini rendah.  Abnor-malitas gelombang R2 hanya ditemukan pada 15,6% kasus.






















BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PENYAKIT BELL’S PALSY
A.    PENGKAJIAN
Pengkajian keperawatan klien dengan Bell’s Palsy  meliputi anamnesis riwayat penyakit,  pemeriksaan fisik,  pemeriksaan diagnostik, dan pengkajian psikososial.
1.    Anamnesis
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta pertolongan  kesehatan adalah berhubungan dengan kelumpuhan otot wajah terjadi pada satu sisi.

2.    Riwayat penyakit saat ini
Faktor riwayat penyakit sangat penting diketahui karena untuk menunjang keluhan utama klien.  Disini harus di Tanya dengan jelas tentang gejala yang timbul seperti kapan mulai serangan, sembuh, atau tambah buruk. Pada pengkajian klien Bell’s palsy biasanya didapatkan keluhan kelumpuhan otot wajah pada satu sisi.
Kelumpuhan fasialis ini melibatkan semua otot wajah seisi.  Bila dahi dikerutkan, lipatan kulit dahi hanya tampak pada sisi yang sehat saja.  Bila klien disuruh memejamkan kedua matanya, maka pada sisi yang tidak sehat, kelopak mata tidak dapat menutup bola mata dan berputarnya bola mata keatas dapat disaksikan.  Fenomena tersebut dikenal sebagai tanda Bell.

3.    Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan adanya hubungan atau menjadi presdisposisi keluhan sekarang  meliputi pernahkan klien mengalami penyakit iskemia vaskuler,  otitis media, tumor intrakranal, trauma kapitis, penyakit virus (herpes simpleks, herves zoster ), penyakit autoimun, atau kombinasi semua factor ini.  Pengkajian pemakaian obat-obatan  yang sering di gunakan klien, pengkajian kemana klien sudah meminta pertolongan dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan merupakan data besar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan tindakan selanjutnya.

4.    Pengkajian psiko-sosio –spiritual
Pengkajian spikologis  klien  Bell’s palsy   meliputi beberapa penilaian  yang memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas  mengenai status emosi, kognitif, dan prilaku klien.  Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga penting  untuk menilai respon emosi tehadap kelumpuhan otot  wajah seisi dan perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari baik dalam keluarga atau masyarakat.  Apakah ada dampak yang timbul pada klien,  yang timbul ketakutan atau kecacatan,  rasa cemas, ketidakmampuan untuk melakukan aktifitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra tubuh). Pengkajian mengenai mekanisme koping yang secara sadar digunakan  klien selama masa stress meliputi kemampuan klien untuk mendiskusikan masalah kesehatan selama ini yang sudah di ketahui  dan perubahan  perilaku akibat stres.
Karena klien harus menjalani perawatan rawat inap  maka apakah keadaan ini member dampak  pada status  ekonomi  klien,  karena biaya perawatan dan pengobatan  memerlukann dana yang tidak sedikit.  Perawat juga memasukan pengkajian terhadap fungsi neurologis dengan dampak ganguan neurologis  yang akan terjadi pada gaya hidup individu.  Perseektif keperawatan dalam mengkaji terdiri dari dua masalah, yaitu keterbatasan  yang diakibatkan oleh defesit neurologi dalam hubungannya dengan peran  social klien  dan rencana pelayanan  yang akan mendukung  adaptasi pada gangguan  neurologis  didalam sistem dukungan individu.

5.    Pemeriksaan fisik
Setelah melakukan anamnesis  yang mengarah  pada keluhan-keluhan klien,  pemeriksaan  fisik sangat berguna untuk  mendukung  data  dari  pengkajian  anamnesis.  Pemeriksaan fisik  sebaiknya  dilakukan per sistem (B1-B6) dengan fokus pemeriksaan fisik   pada  pemeriksaan B3 (Brain) yang  terarah dan dihubungkan dengan  keluhan-keluhan dari klien.  Pada klien Ball’s palsy biasanya di dapatkan tanda-tanda  vital dalam batas normal.
a.    B1(breathing)
Bila tidak ada penyakit lain  yang menyertai pemeriksaan inspeksi  didapatkan klien  tidak batuk,  tidak sesak napas, tidak ada penggunaan otot bantu napas, dan frekuensi  pernapasan dalam batas normal.  Palpasi biasanya traktil premitus  seimbang kanan dan kiri.  perkusi didapatkan resonan  pada seluruh  lapangan paru.  Askultasi tidak terdengar  bunyi napas tambahan.
b.    B2(blood)
Bila tidak ada penyakit lain yang menyertai   pemeriksaan  nadi  dengan frekuensi  dan irama yang normal.  TD  dalam batas normal dan  tidak terdengar bunyi  jantung tambahan.
c.    B3(brain)
Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus dan  lebih lengkap dibandingkan pengkaian  pada sistem lainnya.
1)    Tingkat  Kesadaran
Pada Bell’s palsy biasanya kesadaran klien  compos mentis.
Fungsi Serebri
Status mental : observasi  penampilan klien  dan tingkah lakunya,  nilai gaya  bicara klien,  observasi  ekspresi wajah,  dan  aktivitas motorik yang pada klien  Bell’s palsy  biasanya status mental klien mengenai perubahan.

2)    Pemeriksaan saraf kranial
•    Saraf  I.  Biasanya  pada klien Bell’s palsy tidak ada kelainan  dan fungsi penciuman tidak ada kelainan.
•    Saraf II.  Tes ketajaman  penglihatan pada kondisi normal.
•    Saraf III, IV,  dan VI.  Penurunan gerakan kelopak mata  pada sisi yang sakit (lagoftalmos ).
•    Saraf V.  Kelumpuhan  seluruh otot wajah seisi, lipatan nasolabial  pada sisi kelumpuhan mendatar, adanya gerakan sinkinetik.
•    Saraf VII.  Berkurangnya ketajaman pengecapan, mungkin sekali  adema nervus  fasialis di tingkat faranem stilomastedeus meluas  sampai bagian nervus fasialis,  di mana khorda timpani menggabungkan diri padanya.
•    Saraf  VIII.  Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
•    Saraf IX Dan X.  Paralisis  Otot orofaing, kesukaran  berbicara, mengunya, dan menelan.  Kemampuan  menelan kurang baik,  sehingga  mengganggu pemenuhan  nutrisi via oral.
•    Saraf XI.  Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus  dan trapezius.  Kemampuan mobilisasi leher baik.
•    Saraf XII.  Lidah simestris,  tidak ada deviasi  pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi. Indra pengecapan mengalami  kelumpuhan dan pengecapan  pada 2/3  lidah sisi kelumpuhan kurang tajam.
3)    Sistem Motorik
Bila tidak melibatkan disfungsi neurologis  lain, kekuatan otot normal,  control keseimbangan  dan koordinasi  pada Bell’s palsy tidak ada kelainan.
4)    Pemeriksaan Refleks
Pemeriksaan reflex dalam,  pengetukan pada tendon,  ligamentum  atau periosteum derajat reflex pada respons  normal.
5)    Gerakan Involunter
Tidak  ditemukan adanya tremor, kejang, dan distonia.  Pada beberapa keadaan sering di temukan Tic Fasialis.
6)    Sistem Sensorik
Kemampuan penilaian  sensorik raba,  nyeri, dan suhu  tidak ada kalainan.
d.    B4 (bladder)
Pemeriksaan pada sistem perkemihan  biasanya  didapatkan berkurangnya volume haluaran urine, hal  ini berhubungan dengan  penurunan perfusi  dan  penurunan curah jantung ke ginjal.
e.    B5 (bowel)
Mual sampai muntah  dihubungkan dengan  peningkatan produksi  asam lambung. Pemenuhan  nutrisi  pada klien Bell’s palsy  menurun karena anoreksia  dan  kelemahan  otot –otot mengunyah  serta gangguan proses  menelan   menyebabkan  pemenuhan via oral menjadi berkurang.
f.    B6 (bone )
Penurunan kekuatan otot  dan  penurunan tingkat kesadaran  menurunkan  mobilitas klien  secara umum.  Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari klien lebih banyak dibantu oleh orang lain.





B.    Diagnosis Keperawatan
1.    Gangguan konsep diri (citra diri )  yang berhubungan dengan perubahan bentuk wajah karena kelumpuhan satu sisi pada wajah.
2.    Cemas yang berhubungan dengan prognosis penyakit dan perubahan kesehatan.
3.    Kurangnya pengetahuan kesehatan diri sendiri yang berhubungan dengan informanasi yang tidak adekuat mengenai proses penyakit dan pengobatan.

C.    Rencana intervensi    
Gangguan konsep diri (citra diri) berhubungan dengan perubahan bentuk wajah karena kelumpuhan satu sisi pada wajah.
Data penunjang :
Tanda subjektif : merasa malu karena adanya kelumpuhan otot wajah terjadi pada satu sisi. 
Tanda objektif   : Dahi dikerutkan, lipatan kulit dahi hanya tampak pada sisi yang  sehat saja. 

Tujuan           : Konsep diri klien meningkat
Kriteria hasil : klien mampu menggunakan koping yang positif. 

Intervensi    Rasionalisasi
Kaji dan jelaskan  kepada klien tentang keadaan paralisis wajahnya.     Intervensi awal bias mencegah distress psiklogis pada klien. 

Bantu  klien menggunakan mekanisme koping ysng positif.
    Mekanisme koping yng positif dapat membantu  klien lebih percaya diri,  lebih kooperatif terhadap tindakan yang akan dilakukan  dan mencegah terjadinya kecemasan tambahan.

Orientasikan klien  terhadap prosedur  rutin dan aktifitas yang diharapkan. 
    Orientasi dapat menurunkan kecemasan.
Libatkan sistem pendukung dalam  perawatan klien.     Kehadiran sistem pendukung meningkatkan  citra diri klien. 


Cemas  yang  berhubungan  dengan  proknosis penyakit dan perubahan  kesehatan
Tujuan           : Kecemasan   hilang atau berkurang.
Kriteria hasil :  mengenal perasaannya,  dapat mengidentifikasai penyebab atau faktor yang  mempengaruhi,  dan menyatakan ansietas berkurang  / hilang.

Intervensi    Rasionalisasi
Kaji tanda verbal dan nonverbal  kecemasan, damping klien  dan,  lakukan tindakan bila menunjukan prilaku merusak.     Reaksi  verbal /nonverbal dapat  menunjukan rasa agitasi,  marah, dan gelisah. 
Mulai melakukan tindakan untuk mengurangi kecemasan.  Beri lingkungan yang tenang dan suasana penuh istirahat.      Mengurangi rangsangan eksternal yang tidak perlu.
Tingkat control sensasi klie.     Kontrol sensasi klien (dan dalam menurunkan ketakutan ) dengan   cara memberikan informasi tentang keadaan klien,  menekankan pada  penghargaan terhadap sumber-sumber koping (pertahanan  diri ),  yang positif membantu   latihan relaksasi dan teknik-teknik pengalihan dan memberikan respon balik yang positif. 
Beri kesempatan  kepada klien  untuk mengungkapkan kecemasannya.      Dapat mengalihkan ketegangan  terhadap kekhawatiran  yang tidak diekspresikan.
Berikan privasi untuk klien dan orang terdekat.      Memberi waktu untuk mengekspresikan  perasaan,  menghilangkan cemas,  dan perilaku adaptasi.  Adanya keluarga dan teman-teman  yang di pilih klien melayani  aktivitas  dan pengalihan (misalnya membaca akan  menurunkan perasaan terisolasi.  


Kurangnya pengetahuan  perawatan diri  sendiri yang berhubungan dengan informasi  yang tidak ade kuat mengenai  proses penyakit dan pengobatan.
Tujuan           : Dalam jangka waktu 1x30 menit klien akan memperlihat kan kemampuan   pemahaman yang ade kuat tentang penyakit  dan  pengobatan.
Kriteria hasil : Klien mampu secara subjektif menjelaskan ulang secara sederhana terhadap  apa yang telah didiskusikan.

Intervensi    Rasionalisasi
Kaji kemampuan belajar,  tingkat kecemasan,  partisipasi,  media yang sesuai untuk belajar.      Indikasi progresif atau  reaktivasi  penyakit atau efek samping pengobatan,  serta untuk evaluasi lebih lanjut.
Identifikasi tanda dan gejala  yang perlu dilaporkan keperawat.       Meningkatkan kesadaran kebutuhan  tentang perawatan diri untuk meminimalkan kelemahan.
Jelaskan instruksi dan informasi   misalnya penjadwalan pengobatan.     Meningkatkan kerja sama/ partisipasi terapeutik  dan mencegah putus obat.
Kaji ulang resiko efek samping  pengobatan.     Dapat mengurangi rasa kurang nyaman  dari pengobatan untuk perbaikan kondisi klien.
Dorong klien mengekspresikan ketidaktahuan/ kecemasan dan beri informasi yang dibutuhkan.     Member kesempatan untuk mengoreksi persepsi yang salah  dam mengurangi kecemasan.






BAB IV
KESIMPULAN
A.    KESIMPULAN
Bell’s palsy adalah kelumpuhan akut dari nervus fasialis VII yang dapat menyebabkan gangguan pada indera pengecapan , yaitu pada dua per tiga anterior lidah.Penyakit ini lebih sering ditemukan pada usia dewasa dan jarang pada anak.
Diagnosis dapat ditegakkan secara klinik setelah kausa yang jelas untuk lesi nervus fasialis perifer disingkirkan. Terapi yang dianjurkan saat ini ialah pemberian prednison, fisioterapi dan kalau perlu operasi





















DAFTAR PUSTAKA

o    Artikel. Lowis, Handoko & Maula N Gaharu. 2012. Bell’s Palsy, Diagnosis and Management in Primary Care. IDI
o    Dewanto, George. 2010. Praktis diagnosa & tatalaksana penyakit saraf. EGC : Jakarta
o    Djamil Y, A Basjiruddin. Paralisis Bell. Dalam: Harsono, ed. Kapita selekta neurologi; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.2009. hal 297-300
o    Ginsberg, lionel. 2008. Lecture Notes : Neurologi. Erlangga : Jakarta.
o    Lumbantobing. 2007. Neurologi Klinik. Jakarta: Universitas Indonesia.
o    Weiner HL, Levitt LP. Ataksia. Wita JS, editor. Buku Saku Neurologi. Ed 5. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001. Hal. 174
o    Williams, Lippincot & Wilkins. 2011. Nursing : Memahami Berbagai Macam Penyakit. Indeks: Jakarta
o    Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persyarafan.
o                            Kapita Selekta  Kedokteran. 2000. Jakarta.

No comments:

Post a Comment