Di Amerika cedera kepala merupakan penyebab kematian terbanyak usia 15 – 44 tahun dan merupakan penyebab kematian ketiga untuk keseluruhan. Di negara berkembang seperti Indonesia, seiring dengan kemajuan teknologi dan pembangunan frekuensinya cenderung makin meningkat. Cedera kepala berperan pada hampir separuh dari seluruh kematian akibat trauma, mengingat bahwa kepala merupakan bagian yang tersering dan rentan terlibat dalam suatu kecelakaan.(1,3,4)
Distribusi kasus cedera kepala terutama melibatkan kelompok usia produktif, yaitu antara 15 – 44 tahun, dengan usia rata – rata sekitar tiga puluh tahun , dan lebih didominasi oleh kaum laki – laki dibandingkan kaum perempuan. Adapun penyebab yang tersering adalah kecelakaan lalu lintas ( 49 % ) dan kemudian disusul dengan jatuh (terutama pada kelompok usia anak – anak ).(1,3,4)
Pada kehidupan sehari – hari cedera kepala adalah tantangan umum bagi kalangan medis untuk menghadapinya, di mana tampaknya keberlangsungan proses patofisiologis yang diungkapkan dengan segala terobosan investigasi diagnosik medis mutakhir cenderung bukanlah sesuatu yang sederhana. Berbagai istilah lama seperti kromosio dan kontusio kini sudah ditingalkan dan kalsifikasi cedera kepala lebih mengarah dalam aplikasi penanganan klinis dalam mencapai keberhasilan penanganan yang maksimal.(1)
Cedera pada kepala dapat melibatkan seluruh struktur lapisan, mulai dari lapisan kulit kepala atau tingkat yang paling ringan, tulang tengkorak , durameter, vaskuler otak, sampai jaringan otak sendiri. Baik berupa luka tertutup, maupun trauma tembus. Dengan pemahaman landasan biomekanisme-patofisiologi terperinci dari masing – masing proses di atas, yang dihadapkan dengan prosedur penanganan cepat dan akurat, diharapkan dapat menekan morbilitas dan mortalitasnya.(1)
Jenis beban mekanik yang menimpa kepala sangat bervariasi dan rumit. Pada garis besarnya dikelompokkan atas dua tipe yaitu beban statik dan beban dinamik. Beban statik timbul perlahan – lahan yang dalam hal ini tenaga tekanan diterapkan pada kepala secara bertahap, hal ini bisa terjadi bila kepala mengalami gencetan atau efek tekanan yang lambat dan berlangsung dalam periode waktu yang lebih dari 200 mili detik. Dapat mengakibatkan terjadinya keretakan tulang, fraktur multiple, atau kominutiva tengkorak atau dasar tulang tengkorak.Biasanya koma atau defisit neurologik yang khas belum muncul, kecuali bila deformasi tengkorak hebat sekali sehingga menimbulkan kompresi dan distorsi jaringan otak, serta selanjutnya mengalami kerusakan yang fatal.(1)
Mekanisme ruda paksa yang lebih umum adalah akibat beban dinamik, dimana peristiwa ini berlangsung dalam waktu yang lebih singkat ( kurang dari 200 mili detik). Beban ini dibagi menjadi beban guncangan dan beban benturan. Komplikasi kejadian ini dapat berupa hematom intrakranial, yang dapat menjadikan penderita cedera kepala derajat ringan dalam waktu yang singkat masuk dalam suatu keadan yang gawat dan mengancam jiwanya.
Disatu pihak memang hanya sebagian saja kasus cedera kepala yang datang kerumah sakit berlanjut menjadi hematom, tetapi dilain pihak “ frekuensi hematom ini terdapat pada 75 % kasus yang datang sadar dan keluar meninggal “.(1,3)
II. ANATOMI
1I.1 Meninges dan Vasa Darah Otak
1. Meninges
Meninges adalah selubung jaringan ikat non sarafi yang membungkus otak dan medulla spinalis yang barisi liquor cerebrospinal dan berfungsi sebagai schock absorber. Meninges terdiri dari tiga lapisan dari luar kedalam yaitu : duramater, arachnoidea dan piamater.(1,3,4)
a. Duramater
Merupakan selaput padat, keras dan tidak elastis. Duramater pembungkus medulla spinalis terdiri atas satu lembar, sedangkan duramater otak terdiri atas dua lembar yaitu lamina endostealis yang merupakan jaringan ikat fibrosa cranium, dan lamina meningealis. Membentuk lipatan / duplikatur dibeberapa tempat, yaitu dilinea mediana diantara kedua hehemispherium cerebri disebut falx cerebri , berbentuk segitiga yang merupakan lanjutan kekaudal dari falx cerebri disebut Falx cerebelli, berbentuk tenda yang merupakan atap dari fossa cranii posterior memisahkan cerebrum dengan cerebellum disebut tentorium cerebelli, dan lembaran yang menutupi sella tursica merupakan pembungkus hipophysis disebut diafragma sellae.(1,3)
Diantara dua lembar duramater, dibeberapa tempat membentuk ruangan disebut sinus ( venosus ) duramatris.
Sinus duramatis menerima aliran dari vv. Cerebri, vv. Diploicae, dan vv. Emissari. Ada dua macam sinus duramatis yang tunggal dan yang berpasangan. Sinus duramater yang tunggal adalah : sinus sagitalis superior, sinus sagitalis inferior, sinus rectus, dan sinus occipitalis. Sinus sagitalis superior menerima darah dari vv. Cerebri,vv. Diploicae, dan vv. Emissari.Sinus sagitalis inferior menerima darah dari facies medialis otak. Sinus rectus terletak diantara falx cerebri dan tentorium cerebelli, merupakan lanjutan dari v. cerebri magna, dengan sinus sagitalis superior membentuk confluens sinuum. Sinus occipitalis mulai dari foramen magnum, bergabung dengan confluens sinuum.(1)
Sinus duramater yang berpasangan yaitu sinus tranversus, sinus cavernosus, sinus sigmoideus dan sinus petrosus superior dan inferior. Sinus tranversus menerima darah dari sinus sagitalis superior dan sinus rectus, kemudian mengalir ke v. jugularis interna. Sinus sigmoideus merupakan lanjutan sinus tranversus berbentuk huruf S. Sinus petrosus superior dan inferior menerima darah dari sinus cavernosus dan mengalirkan masing – masing ke sinus traaanversus dan v. jugularis interna(1)
b. Aracnoidea
Membran halus disebelah dalam duramater, tidak masuk kedalam sulcus / fissura kecuali fissura longitudinalis. Dari aracnoidea banyak muncul trabecula halus menuju kepiamater membentuk bangunan seperti sarang laba – laba.
Diantara aracnoidea dan piamater terdapat ruang spatium subaracnoidale, yang dibeberapa tempat melebar membentuk cisterna. Sedangkan celah sempit diantara duramater dan aracnoidea disebut spatium subdurale, celah sempit diluar duramater disebut spatium epidurale.
Dari aracnoidea juga muncul jonjot – jonjot yang mengadakan invaginasi ke duramater disebut granulasio aracnoidales terutama didaerah sinus sagitalis yang berfungsi klep satu arah memungkinkan lalunya bahan – bahan dari LCS ke sinus venosus.(1,3)
c. Piamater
Piamater melekat erat pada otak dan medulla spinalis, mengikuti setiap lekukan, mengandung vasa kecil. Ditempat tertentu bersama dengan ependyma membentuk tela choroidea. Piamater berperan sebagai barrier terhadap masuknya senyawa yang membahayakan.(1,3)
II.2. Vasa Darah Otak
a. Arteri
Otak divaskularisasi oleh cabang – cabang a. carotis interna dan a. vertebralis. A. carotis interna merupakan cabang dari a. carotis comunis yang masuk ke kavum cranii melalui canalis caroticus, cabang- cabangnya adalah a. optalmica, a. choroidea anterior, a. cerebralis anterior dan a.cerebralis medialis. A. opthalmica mempercabang a. centralis retina, a. cerebralis anterior mempercabangkan a. communicans anterior, sedangkan a. cerebralis medialis mempercabangkan a. communican posterior.(3)
Arteri vertebralis merupakan cabang a. subclavia naik ke leher melalui foramina tranversalis. Kedua a. vertebralis di kranial pons membentuk a. basillaris yang mempercabangkan aa. Pontis, a.labirintina ( mengikuti n. V dan n. VIII ), a. cerebellaris superior ( setinggi n. III dan n. IV ) dan a. cerebralis posterior yang merupakan cabang terminal a. basilaris.(3)
Cabang -.cabang a. carotis interna dan a. vertebralis membentuk circulus arteriosus Willis yang terdapat disekitar chiasma opticum. Dibentuk oleh a. cerebralis anterior, a. cerebralis media, a. cerebralis posterior, a. comunican posterior dan a.communican anterior. Sistem ini memungkinkan suplai darah ke otak yang adekuat terutama jika terjadi oklusi / sumbatan. (3)
b. Vena
Vena diotak dikalsifikasikan sebagai berikut : (3)
- Vena cerebri eksterna, meliputi v. cerebralis superior / lateralis / medialis / inferior dan vv. Basallles.
- Vena cerebri interna, meliputi v. choroidea dan v. cerebri magna.
- Vv. Cerebellaris
- Vv. Emissariae, yaitu vena yang menghubungkan sinus duralis dengan vena superfisialis cranium yang berfungsi sebagai klep tekanan jika terjadi kenaiakan tekanan intrakranial. Juga berperan dalam penyebaran infeksi ke dalam cavum cranii.
Vena yang berasal dari truncus cerebri dan cerebellum pada umumnya mengikuti kembali aliran arterinya. Sedangkan aliran balik darah venosa di cerebrum tidak tidak mengikuti pola di arterinya. Semua darah venosa meninggalkan otak melalui v. jugularis interna pada basis cranii. Anastomosis venosa sangat ektensif dan efektif antara vv. Superfisialis dan vv. Profunda di dalam otak. (3)
III. APLIKAS KLINIS
Pada trauma kapitis dapat terjadi perdarahan intrakranial / hematom intrakranial yang dibagi menjadi :hematom yang terletak diluar duramater yaitu
hematom epidural, dan yang terletak didalam duramater yaitu hematom subdural dan hematom intraserebral ; dimana masing-masing dapat terjadi sendiri ataupun besamaan. (3)
III.1 EPIDURAL HEMATOMA
III.1.a. Definisi
Hematom epidural merupakan pengumpulan darah diantara tengkorak dengan duramater ( dikenal dengan istilah hematom ekstradural ). Hematom jenis ini biasanya berasal dari perdarahan arteriel akibat adanya fraktur linier yang menimbulkan laserasi langsung atau robekan arteri-arteri meningens ( a. Meningea media ). Fraktur tengkorak yang menyertai dijumpai pada 8% - 95% kasus, sedangkan sisanya (9%) disebabkan oleh regangan dan robekan arteri tanpa ada fraktur (terutama pada kasus anak-anak dimana deformitas yang terjadi hanya sementara). Hematom epidural yang berasal dari perdarahan vena lebih jarang terjadi.(1,3,5)
Gambar CT SCAN Epidural hematom
III.1.b Etiologi
Kausa yang menyebabkan terjadinya hematom epidural meliputi : (5)
- Trauma kepala
- Sobekan a/v meningea mediana
- Ruptur sinus sagitalis / sinus tranversum
- Ruptur v diplorica
Hematom jenis ini biasanya berasal dari perdarahan arterial akibat adanya fraktur linier yang menimbulkan laserasi langsung atau robekan arteri meningea mediana.Fraktur tengkorak yang menyertainya dijumpai 85-95 % kasus, sedang sisanya ( 9 % ) disebabkan oleh regangan dan robekan arteri tanpa ada fraktur terutama pada kasus anak-anak dimana deformitas yang terjadi hanya sementara.(1,3)
Hematom jenis ini yang berasal dari perdarahan vena lebih jarang terjadi, umumnya disebabkan oleh laserasi sinus duramatris oleh fraktur oksipital, parietal atau tulang sfenoid.(1,3)
III.1.c. Klasifikasi
Berdasarkan kronologisnya hematom epidural diklasifikasikan menjadi (1,3)
1. Akut : ditentukan diagnosisnya waktu 24 jam pertama setelah trauma
2. Subakut : ditentukan diagnosisnya antara 24 jam – 7 hari
3. Kronis : ditentukan diagnosisnya hari ke 7
III.1.d. Patofisiologi
Hematom epidural terjadi karena cedera kepala benda tumpul dan dalam waktu yang lambat, seperti jatuh atau tertimpa sesuatu, dan ini hampir selalu berhubungan dengan fraktur cranial linier. Pada kebanyakan pasien, perdarahan terjadi pada arteri meningeal tengah, vena atau keduanya. Pembuluh darah meningeal tengah cedera ketikaterjadi garis fraktur melewati lekukan minengeal pada squama temporal.
III.1.e. Gejala klinis
Gejala klinis hematom epidural terdiri dari tria gejala;
1. Interval lusid (interval bebas)
Setelah periode pendek ketidaksadaran, ada interval lucid yang diikuti dengan perkembangan yang merugikan pada kesadaran dan hemisphere contralateral. Lebih dari 50% pasien tidak ditemukan adanya interval lucid, dan ketidaksadaran yang terjadi dari saat terjadinya cedera.
Sakit kepala yang sangat sakit biasa terjadi, karena terbukanya jalan dura dari bagian dalam cranium, dan biasanya progresif bila terdapat interval lucid.
Interval lucid dapat terjadi pada kerusakan parenkimal yang minimal. Interval ini menggambarkan waktu yang lalu antara ketidak sadaran yang pertama diderita karena trauma dan dimulainya kekacauan pada diencephalic karena herniasi transtentorial. Panjang dari interval lucid yang pendek memungkinkan adanya perdarahan yang dimungkinkan berasal dari arteri.
2. Hemiparesis
Gangguan neurologis biasanya collateral hemipareis, tergantung dari efek pembesaran massa pada daerah corticispinal. Ipsilateral hemiparesis sampai penjendalan dapat juga menyebabkan tekanan pada cerebral kontralateral peduncle pada permukaan tentorial.
3. Anisokor pupil
Yaitu pupil ipsilateral melebar. Pada perjalananya, pelebaran pupil akan mencapai maksimal dan reaksi cahaya yang pada permulaan masih positif akan menjadi negatif. Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardi.pada tahap ahir, kesadaran menurun sampai koma yang dalam, pupil kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian.
III.1.f. Terapi
Hematom epidural adalah tindakan pembedahan untuk evakuasi secepat mungkin, dekompresi jaringan otak di bawahnya dan mengatasi sumber perdarahan.
Biasanya pasca operasi dipasang drainase selama 2 x 24 jam untuk menghindari terjadinya pengumpulan darah yamg baru.
- Trepanasi –kraniotomi, evakuasi hematom
- Kraniotomi-evakuasi hematom
III.1.g. Komplikasi Dan Outcome
Hematom epidural dapat memberikan komplikasi :
- Edema serebri, merupakan keadaan-gejala patologis, radiologis, maupun tampilan ntra-operatif dimana keadaan ini mempunyai peranan yang sangat bermakna pada kejadian pergeseran otak (brain shift) dan peningkatan tekanan intrakranial
- Kompresi batang otak – meninggal
Sedangkan outcome pada hematom epidural yaitu :
- Mortalitas 20% -30%
- Sembuh dengan defisit neurologik 5% - 10%
- Sembuh tanpa defisit neurologik
- Hidup dalam kondisi status vegetatif
III.2 SUBDURAL HEMATOMA
III.2. a Definisi
Perdarahan subdural ialah perdarahan yang terjadi diantara duramater dan araknoid. Perdarahan subdural dapat berasal dari:
1. Ruptur vena jembatan ( "Bridging vein") yaitu vena yang berjalan dari ruangan subaraknoid atau korteks serebri melintasi ruangan subdural dan bermuara di dalam sinus venosus dura mater.
2. Robekan pembuluh darah kortikal, subaraknoid, atau araknoid
Gambar CT SCAN Subdural hematom
III. 2. b Etiologi
1. Trauma kepala.
2. Malformasi arteriovenosa.
1. Diskrasia darah.
2. Terapi antikoagulan
III.2.c. Klasifikasi
1. Perdarahan akut
Gejala yang timbul segera hingga berjam - jam setelah trauma.Biasanya terjadi pada cedera kepala yang cukup berat yang dapat mengakibatkan perburukan lebih
lanjut pada pasien yang biasanya sudah terganggu kesadaran dan tanda vitalnya. Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas. Pada gambaran skening tomografinya, didapatkan lesi hiperdens.
2. Perdarahan sub akut
Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar 2 - 14 hari sesudah trauma. Pada subdural sub akut ini didapati campuran dari bekuan darah dan cairan darah . Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsula di sekitarnya. Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi isodens atau hipodens.Lesi isodens didapatkan karena terjadinya lisis dari sel darah merah dan resorbsi dari hemoglobin.
3. Perdarahan kronik
Biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa lebih.Perdarahan kronik subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu berminggu- minggu ataupun bulan setelah trauma yang ringan atau trauma yang tidak jelas, bahkan hanya terbentur ringan saja bisa mengakibatkan perdarahan subdural apabila pasien juga mengalami gangguan vaskular atau gangguan pembekuan darah. Pada perdarahan subdural kronik , kita harus berhati hati karena hematoma ini lama kelamaan bisa
menjadi membesar secara perlahan- lahan sehingga mengakibatkan penekanan dan herniasi. Pada subdural kronik, didapati kapsula jaringan ikat terbentuk mengelilingi hematoma , pada yang lebih baru, kapsula masih belum terbentuk atau tipis di daerah permukaan arachnoidea. Kapsula melekat pada araknoidea bila terjadi robekan pada selaput otak ini. Kapsula ini mengandung pembuluh darah yang tipis dindingnya terutama pada sisi duramater. Karena dinding yang tipis ini protein dari plasma darah dapat menembusnya dan meningkatkan volume dari hematoma. Pembuluh darah ini dapat pecah dan menimbulkan perdarahan baru yang menyebabkan menggembungnya hematoma. Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan kental yang dapat menghisap cairan dari ruangan subaraknoidea. Hematoma akan membesar dan menimbulkan gejala seprti pada tumor serebri. Sebagaian besar hematoma subdural kronik dijumpai pada pasien yang berusia di atas 50 tahun. Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi hipodens
III. 2.d. Patofisiologi
Vena cortical menuju dura atau sinus dural pecahdan mengalami memar atau laserasi, adalah lokasi umum terjadinya perdarahan. Hal ini sangat berhubungan dengan comtusio serebral dan oedem otak. CT Scan menunjukkan effect massa dan pergeseran garis tengah dalam exsess dari ketebalan hematom yamg berhubungan dengan trauma otak.
III. 2.e. Gejala klinis
Gejala klinisnya sangat bervariasi dari tingkat yang ringan (sakit kepala) sampai penutunan kesadaran. Kebanyakan kesadaran hematom subdural tidak begitu hebat deperti kasus cedera neuronal primer, kecuali bila ada effek massa atau lesi lainnya.
Gejala yang timbul tidak khas dan meruoakan manisfestasi dari peninggian tekanan intrakranial seperti : sakit kepala, mual, muntah, vertigo, papil edema, diplopia akibat kelumpuhan n. III, epilepsi, anisokor pupil, dan defisit neurologis lainnya.kadang kala yang riwayat traumanya tidak jelas, sering diduga tumor otak.
III.2.f. Terapi
Tindakan terapi pada kasus kasus ini adalah kraniotomi evakuasi hematom secepatnya dengan irigasi via burr-hole. Khusus pada penderita hematom subdural kronis usia tua dimana biasanya mempunyai kapsul hematom yang tebal dan jaringan otaknya sudah mengalami atrofi, biasanya lebih dianjurkan untuk melakukan operasi kraniotomi (diandingkan dengan burr-hole saja).
III.2.g. Komplikasi Dan Outcome
Subdural hematom dapat memberikan komplikasi berupa :
1. Hemiparese/hemiplegia.
2. Disfasia/afasia
3. Epilepsi.
4. Hidrosepalus.
5. Subdural empiema
Sedangaka outcome untuk subdural hematom adalah :
1. Mortalitas pada subdural hematom akut sekitar 75%-85%
2. Pada sub dural hematom kronis :
- Sembuh tanpa gangguan neurologi sekitar 50%-80%.
- Sembuh dengan gangguan neurologi sekitar 20%-50%.
III.3 INTRASEREBRAL HEMATOM
III.3.a. Definisi
Adalah perdarahan yang terjadi didalam jaringan otak. Hematom intraserbral pasca traumatik merupkan koleksi darah fokal yang biasanya diakibatkan cedera regangan atau robekan rasional terhadap pembuluh-pembuluh darahintraparenkimal otak atau kadang-kadang cedera penetrans. Ukuran hematom ini bervariasi dari beberapa milimeter sampai beberapa centimeter dan dapat terjadi pada 2%-16% kasus cedera.
Intracerebral hematom mengacu pada hemorragi / perdarahan lebih dari 5 mldalam substansi otak (hemoragi yang lebih kecil dinamakan punctate atau petechial /bercak).
Gambar CT SCAN Intraserebral hematom
III.3.b. Etiologi
Intraserebral hematom dapat disebabkan oleh :
1. Trauma kepala.
2. Hipertensi.
3. Malformasi arteriovenosa.
4. Aneurisme
5. Terapi antikoagulan
6. Diskrasia darah
III.3.c. Klasifikasi
Klasifikasi intraserebral hematom menurut letaknya ;
1. Hematom supra tentoral.
2. Hematom serbeller.
3. Hematom pons-batang otak.
III.3.d. Patofisiologi
Hematom intraserebral biasanta 80%-90% berlokasi di frontotemporal atau di daerah ganglia basalis, dan kerap disertai dengan lesi neuronal primer lainnya serta fraktur kalvaria.
III.3.e. Gejala klinis.
Klinis penderita tidak begitu khas dan sering (30%-50%) tetap sadar, mirip dengan hematom ekstra aksial lainnya. Manifestasi klinis pada puncaknya tampak setelah 2-4 hari pasca cedera, namun dengan adanya scan computer tomografi otak
diagnosanya dapat ditegakkan lebih cepat.
Kriteria diagnosis hematom supra tentorial
- nyeri kepala mendadak
- penurunan tingkat kesadaran dalam waktu 24-48 jam.
- Tanda fokal yang mungkin terjadi ;
- Hemiparesis / hemiplegi.
- Hemisensorik.
- Hemi anopsia homonim
- Parese nervus III.
Kriteria diagnosis hematom serebeller ;
- Nyeri kepala akut.
- Penurunan kesadaran.
- Ataksia
- Tanda tanda peninggian tekanan intrakranial.
Kriteria diagnosis hematom pons batang otak:
- Penurunan kesadaran koma.
- Tetraparesa
- Respirasi irreguler
- Pupil pint point
- Pireksia
- Gerakan mata diskonjugat.
III.3.f. Terapi
Untuk hemmoragi kecil treatmentnya adalah observatif dan supportif. Tekanan darah harus diawasi. Hipertensi dapat memacu timbulnya hemmoragi. Intra cerebral hematom yang luas dapat ditreatment dengan hiperventilasi, manitol dan steroid dengan monitorong tekanan intrakranial sebagai uasaha untuk menghindari pembedahan. Pembedahan dilakukan untuk hematom masif yang luas dan pasien dengan kekacauan neurologis atau adanya elevasi tekanan intrakranial karena terapi medis
Konservatif
- Bila perdarahan lebih dari 30 cc supratentorial
- Bila perdarahan kurang dari 15 cc celebeller
- Bila perdarahan pons batang otak.
Pembedahan
Kraniotomi
- Bila perdarahan supratentorial lebih dari 30 cc dengan effek massa
- Bila perdarahan cerebeller lebih dari 15 cc dengan effek massa
III.3.g. Komplikasi Dan Outcome
Intraserebral hematom dapat memberikan komplikasi berupa;
- Oedem serebri, pembengkakan otak
- Kompresi batang otak, meninggal
Sedangkan outcome intraserebral hematom dapat berupa :
- Mortalitas 20%-30%
- Sembuh tanpa defisit neurologis
- Sembuh denga defisit neurologis
- Hidup dalam kondisi status vegetatif.
IV. PEMERIKSAAN KLINIS CEDERA KEPALA
Pemeriksaan klinis merupakan pemeriksaan yang paling komprehensif dalam evaluasi diagnostik penderita-penderita cedera kepala, dimana dengan pemeriksaan=pemeriksaan serial yang cepat tepa dan noninvasif diharapkan dapat nenunjukkan progresifitas atau kemunduran dari proses penyakit atau gangguan tersebut. Sehubungan tinnginya insidensi kelainan / cedera sistemik penyerta (lebih dari 50%) pada kasus-kasus cedera kepala berat, maka perlu diperhatikan hal hal sebagai berikut ;
- Tingkat kesadaran
Tingkat kesadaran dinilai dengan skala Glasgow (GCS “Glasgow coma Scale). Skala ini merupakan gradasi sederhana dari “arousal” dan kapasitas fungsionil korteks serebral berdasarkan respon verbal, motorik dan mata penderita.
Respon motor terbaik
6
5
4
3
2
1
|
Mengikuti perintah
Terlokalisasi pada rasa sakit
Terjadi efek penarikan dari rasa sakit
Fleksi abnormal
Ekstensi abnormal
Tidak ada pergerakan
|
Respon verbal terbaik
5
4
3
2
1
|
Terorientasi dan tepat
Percakapan yang membingungkan
Tidak tepat
Suara yang tidak dapat dimengerti
Tidak
|
Pembukaan mata
4
3
2
1
|
Spontan
Terhadap pembicaraan
Terhadap rasa sakit
Tidak ada pembukaan mata
|
2. Gerakan bola mata
Gerakan bola mata merupakan indeks penting untuk penilaian aktiffitas fungsional batang otak (formasio rektikularis). Penderita yang sadar penuh (alert) dan mempunyai gerakan bola mata yang baik menandakan intaknya sistem motorikokuler di batang otak. Pada keadaan kesadaran yang menurun, gerakan bola mata volunter menghilang, sehingga untuk menilai gerakannya ditentukan dari refleks okulosefalik dan okulovestibuler.
- Pupil
Penilaian ukuran pupil dan responnya terhadap rangsangan cahaya adalah pemeriksaan awal terpenting dalam menangani cedera kepala.
Salah satu gejala dini dari herniasi dari lobus temporal adalah dilatasi dan perlambatan respon cahaya pupil. Dalam hal ini adanya kompresi maupun distorsi saraf okulomotorius sewaktu kejadian herniasi tentorial unkal akan mengganggu funsi akson parasimpatis yang menghantarkan sinyal eferen untuk konstrksi pupil.
Perubahan pupil pada hematom epidural dapat dilihat dari tabel
- Fungsi motorik
Biasanya hanya merupakan pelengkap saja mengingat kadang sulit mendapatkan penilaian akurat dari penderita dengan penurunan kesadaran. Masing-masing ekstremitas digradasi kekuatannya dengan skala sebagai berikut:
Normal : 5
Menurun moderat : 4
Menurun berat (dapat melawan gravitasi) : 3
Tidak dapat melawan gravirasi : 2
Sedikit bergerak : 1
Tidak ada pergerakan : 0