Meskipun transfusi darah dapat menyelamatkan jiwa, namun tindakan ini bukan tanpa risiko. Dahulu infeksi menjadi risiko utama transfusi darah, tetapi kini hal itu semakin sangat langka terjadi karena pengujian yang hati-hati dan skrining donor. Sebaliknya, reaksi transfusi dan masalah diluar infeksi menjadi masalah yang paling umum.
Bila Anda melakukan transfusi, maka perlu segera memberitahu perawat Anda bila melihat adanya perubahan dalam diri Anda, misalnya seperti gatal-gatal, menggigil, sakit kepala, dada atau nyeri punggung, mual, pusing, masalah bernapas, atau masalah lainnya. Berikut ini reaksi dan resiko yang mungkin timbul akibat tranfusi darah:
1. Reaksi Transfusi
Transfusi darah kadang menyebabkan reaksi transfusi. Ada jenis reaksi transfusi yang buruk dan ada yang moderat. Reaksi transfusi bisa segera terjadi setelah transfusi dimulai, namun ada juga reaksi yang terjadi beberapa hari atau bahkan lebih lama setelah transfusi dilakukan.
Untuk mencegah terjadinya reaksi yang buruk, diperlukan tindakan pencegahan sebelum transfusi dimulai. Jenis darah diperiksa berkali-kali, dan dilakukan cross-matched untuk memastikan bahwa jenis darah tersebut cocok dengan jenis darah dari orang yang akan mendapatkannya. Setelah itu, perawat dan teknisi laboratorium bank darah mencari informasi tentang pasien dan informasi pada unit darah (atau komponen darah) sebelum dikeluarkan. Informasi ini dicocokkan sekali lagi di hadapan pasien sebelum transfusi dimulai.
A. Reaksi Alergi
Alergi merupakan reaksi yang paling sering terjadi setelah transfusi darah. Hal ini terjadi karena reaksi tubuh terhadap protein plasma dalam darah donor. Biasanya gejala hanya gatal-gatal, yang dapat diobati dengan antihistamin seperti diphenhydramine (Benadryl).
B. Reaksi Demam
Orang yang menerima darah mengalami demam mendadak selama atau dalam waktu 24 jam sejak transfusi. Sakit kepala, mual, menggigil, atau perasaan umum ketidaknyamanan mungkin bersamaan dengan demam. Acetaminophen (Tylenol) dapat meredakan gejala-gejala ini.
Reaksi-reaksi tersebut terjadi sebagai respon tubuh terhadap sel-sel darah putih dalam darah yang disumbangkan. Hal ini lebih sering terjadi pada orang yang pernah mendapat transfusi sebelumnya dan pada wanita yang pernah beberapa kali mengalami kehamilan. Jenis-jenis reaksi juga dapat menyebabkan demam, dan pengujian lebih lanjut mungkin diperlukan untuk memastikan bahwa reaksi ini hanya demam.
Pasien yang mengalami reaksi demam atau yang beresiko terhadap reaksi tranfusi lainnya biasanya diberikan produk darah yang leukositnya telah dikurangi. Artinya, sel-sel darah putih telah hilang setelah melalui filter atau cara lainnya.
C. Reaksi hemolitik kekebalan akut
Ini adalah jenis yang paling serius dari reaksi transfusi, tetapi sangat jarang terjadi. Reaksi hemolitik kekebalan akut terjadi ketika golongan darah donor dan pasien tidak cocok. Antibodi pasien menyerang sel-sel darah merah yang ditransfusikan, menyebabkan mereka mematahkan (hemolyze) dan melepaskan zat-zat berbahaya ke dalam aliran darah.
Pasien mungkin menggigil, demam, nyeri dada dan punggung bawah, serta mual. Ginjal dapat rusak parah, dan dialisis mungkin diperlukan. Reaksi hemolitik dapat mematikan jika transfusi tidak dihentikan segera saat reaksi dimulai.
D. Reaksi hemolitik tertunda
Reaksi ini terjadi ketika tubuh perlahan-lahan menyerang antigen (antigen selain ABO) pada sel-sel darah yang ditransfusikan. Sel-sel darah mengalami pemecahan setelah beberapa hari atau minggu transfusi dilakukan. Biasanya tidak ada gejala, tetapi sel-sel darah merah yang ditransfusikan hancur dan dan jumlah sel darah merah pasien mengalami penurunan. Dalam kasus yang jarang ginjal mungkin akan terpengaruh, dan pengobatan mungkin diperlukan.
Seseorang mungkin tidak mengalami jenis reaksi seperti ini kecuali mereka pernah mendapat transfusi di masa lalu. Orang-orang yang mengalami jenis reaksi hemolitik tertunda ini perlu menjalani tes darah khusus sebelum menerima transfusi darah kembali. Unit darah yang tidak memiliki antigen yang menyerang tubuh harus digunakan.
2. Transfusi yang berhubungan dengan cedera paru akut
Transfusi yang berhubungan dengan cedera paru akut (Transfusion-related acute lung injury –TRALI) adalah reaksi transfusi yang sangat serius yang terjadi pada sekitar 1 dari setiap 5.000 transfusi. Hal ini dapat terjadi pada semua jenis transfusi, tetapi mereka yang mengandung plasma yang berlebihan, seperti plasma beku segar atau trombosit, tampaknya lebih mungkin mengalami resiko ini. Kasus ini sering terjadi dalam waktu 1 sampai 2 jam sejak transfusi, tetapi dapat terjadi kapan saja sampai 6 jam setelah transfusi.
Ada juga sindrom TRALI yang tertunda yang terjadi hingga 72 jam setelah transfusi diberikan. Gejala utama dari TRALI adalah kesulitan bernapas. Jika TRALI dicurigai selama transfusi, maka transfusi harus segera dihentikan.
Para dokter percaya bahwa ada beberapa faktor yang terkait dengan resiko TRALI, dan obat-obatan tampaknya tidak dapat menghindari resiko ini. Banyak pasien yang mengalami TRALI akhirnya menjalani operasi, trauma, pengobatan kanker, transfusi, atau mengalami infeksi aktif. Pada umumnya, TRALI hilang dalam 2 atau 3 hari jika diberi bantuan napas dan tekanan darah, tapi meskipun bantuan ini diberikan, tetap saja ada kemungkinan kematian sekitar 5% sampai 10% dari kasus.
3. Graft-versus-host disease
Graft-versus-host disease (GVHD) terjadi ketika seseorang dengan sistem kekebalan tubuh yang sangat lemah mendapat sel darah putih dalam produk darah yang ditransfusikan. Sel-sel darah putih dari transfusi menyerang jaringan pasien yang mendapat darah.
Hal ini lebih mungkin terjadi jika darah berasal dari keluarga atau seseorang yang memiliki jenis jaringan yang sama dengan pasien. Sistem kekebalan tubuh pasien tidak mengenali sel-sel darah putih dalam darah yang ditransfusikan, sehingga dianggap sebagai benda asing. Hal ini memungkinkan sel-sel darah putih melakukan pertahanan diri dan menyerang jaringan tubuh pasien.
Dalam waktu satu bulan sejak transfusi, pasien mungkin mengalami demam, masalah liver, ruam, dan diare. Untuk mencegah agar sel-sel darah putih tidak menyebakan GVHD, darah yang disumbangkan harus menjalani radiasi sebelum transfusi. (Radiasi membuat sel darah putih tidak mempengaruhi sel-sel darah merah.)
4. Infeksi
Transfusi darah dapat menjadi jalan masuk bagi bakteri, virus, dan parasit yang menyebabkan infeksi. Di negara seperti Amerika Serikat kemungkinan infeksi akibat transfusi sangat rendah. Dengan adanya unit pengujian darah terhadap kuman yang dapat menyebabkan infeksi telah membantu memastikan darah sangat aman, namun perlu kita sadari bahwa tidak ada pengujian yang 100% akurat.
5. Kontaminasi Bakteri
Jarang sekali darah terkontaminasi dengan sejumlah kecil bakteri kulit selama melakukan donor darah. Namun, trombosit adalah komponen darah yang paling mungkin mengalami kontaminasi bakterial. Oleh sebab itu trombosit harus disimpan pada suhu kamar, karena bakteri dapat tumbuh dengan cepat. Menurut penelitian, sekitar 1 dari setiap 5.000 unit trombosit yang disumbangkan terkontaminasi. Pasien yang mendapatkan trombosit yang terkontaminasi dapat segera mengalami penyakit yang lebih serius setelah transfusi dimulai.
Pada tahun 2004, bank darah mulai melakukan pengujian terhadap trombosit, sehingga mereka dapat membuang unit darah terkontaminasi yang mungkin menyebabkan kerusakan. Pengujian ini masih terus disempurnakan, namun dari waktu ke waktu semakin sedikit penyakit yang disebabkan oleh masalah kontaminasi trombosit. Disamping itu, semakin banyak rumah sakit menggunakan trombosit apheresis, yang memiliki risiko yang lebih rendah dari kontaminasi bakteri.
6. Hepatitis B dan C
Virus yang menyerang hati menyebabkan berbagai bentuk hepatitis. Hepatitis merupakan penyakit yang paling umum ditularkan melalui transfusi darah. Hasil dari sebuah penelitian 2009 terhadap hepatitis B dalam darah yang disumbangkan mengemukakan bahwa risiko penularan virus ini sekitar 1 dalam setiap 350.000 unit, atau sekitar 1 dibanding 1,6 juta transfusi darah dapat menularkan hepatitis C.
Berbagai penelitian terus dilakukan untuk mengurangi risiko infeksi tersebut. Dalam kebanyakan kasus tidak ada gejala, tetapi hepatitis kadang-kadang dapat menyebabkan kegagalan hati dan masalah lainnya.
Beberapa langkah secara rutin telah dilakukan untuk mengurangi risiko hepatitis dari transfusi darah. Para calon donor darah diajukan pertanyaan sehubungan dengan faktor risiko hepatitis dan gejala hepatitis. Darah yang disumbangkan juga diuji untuk menemukan virus hepatitis B, virus hepatitis C, dan masalah hati yang mungkin menjadi tanda jenis hepatitis lainnya.
7. Human immunodeficiency virus (HIV)
Salah satu rute utama penularan HIV adalah melalui kontak langsung antara darah dengan darah yang terinfeksi HIV. Meskipun sebagian besar infeksi HIV melalui darah terjadi melalui penggunaan suntikan narkoba, namun di seluruh dunia sejumlah kasus penularan HIV terjadi melalui transfusi darah, suntikan medis, limbah medis dan paparan kerja.
Pengujian HIV atas setiap unit darah yang disumbangkan mulai dilakukan pada tahun 1985, dan semua darah yang disumbangkan hingga saat ini dites HIV. Dengan pengujian yang semakin ditingkatkan dari waktu ke waktu, maka jumlah kasus AIDS yang terkait dengna transfusi terus menurun.
8. Infeksi Lainnya
Seiring dengan pengujian yang disebutkan di atas, semua darah sebelum transfusi diuji untuk mengetahui apakah beresiko terhadap penularan sifilis, HTLV-I dan HTLV-II (virus terkait dengan T-cell leukemia / limfoma manusia). Sejak tahun 2003, darah yang disumbangkan juga diuji untuk mengetahui virus West Nile, yang terbaru adalah pengujian atas penyakit Chagas (penyakit umum di Amerika Selatan dan Tengah).
Seiring dengan pengujian yang disebutkan di atas, semua darah sebelum transfusi diuji untuk mengetahui apakah beresiko terhadap penularan sifilis, HTLV-I dan HTLV-II (virus terkait dengan T-cell leukemia / limfoma manusia). Sejak tahun 2003, darah yang disumbangkan juga diuji untuk mengetahui virus West Nile, yang terbaru adalah pengujian atas penyakit Chagas (penyakit umum di Amerika Selatan dan Tengah).
Penyakit yang disebabkan oleh bakteri tertentu, virus, dan parasit, seperti Babesiosis, malaria, penyakit Lyme, dan lain-lain juga dapat ditularkan melalui transfusi darah. Tapi karena donor potensial disaring dengan pertanyaan tentang status kesehatan dan perjalanan mereka, maka kasus-kasus penularan penyakit akibat tranfusi seperti di atas semakin jarang terjadi.
No comments:
Post a Comment